Piala Eropa 2016 akan dimulai pada 11 Juni mendatang. Ajang olahraga bergengsi yang ditunggu-tunggu masyarakat dunia akan dibuka dengan pertandingan antara Prancis dan Rumania di Stade de France di Paris. Ajang ini diikuti oleh 24 negara dan akan berakhir pada 10 Juli nanti.
Sepak bola bukan sekadar permainan bola. Ada banyak pelajaran yang bisa digali dari olah raga di lapangan hijau ini, termasuk pelajaran marketing. Salah satunya, soal ambush marketing.
Apa itu ambush marketing? Istilah ini sering diartikan sebagai strategi pemasaran yang mana para pengiklan mengasosiasikan mereknya dengan event tertentu. Mereka memanfaatkan event tersebut untuk mendongkrak citra merek tanpa harus merogoh kocek untuk membayar biaya sponsor sepeser pun.
Sederhananya, ambush marketing merupakan strategi merek untuk “numpang populer” pada sebuah event tertentu tanpa harus membayar uang sponsor untuk event tersebut. Biasanya, event ini digelar dalam skala besar dengan jangkauan audiens yang besar pula.
Biasanya, ambush marketing ini membuat para sponsor resmi merasa ketar-ketir dan dirugikan. Piala Eropa 2016 disponsori secara resmi oleh merek-merek ternama yang selama ini rutin mensponsori kontes olahraga, seperti Adidas, Carlsberg, Coca-Cola, dan McDonald’s.
Mereka yang melakukan ambush marketing tidak kalah kreatif memanfaatkan momentum. Bisa jadi, meskipun tidak menjadi sponsor resmi, sebuah merek bisa menggandeng salah satu pemain sepak bola kondang untuk menjadi bintang iklannya dalam konteks ajang tersebut.
Pepsi, misalnya. Pada Piala Dunia 2014 yang lalu melakukan ambush marketing pada “musuh bebuyutannya” Coca-Cola yang tercatat sebagai sponsor resmi Piala Dunia yang bernilai jutaan dolar AS tersebut. Strateginya tak lain dengan menjadikan pesepak bola Lionel Messi sebagai bintang iklannya. Iklan bernuansa Piala Dunia yang gencar menjadikan Pepsi seolah-olah menjadi sponsor ajang tersebut.
Perdebatan Etis
Ambush marketing menjadi bahan perdebatan di kalangan pakar iklan. Banyak pihak menilai praktik ini tidak etis karena mendompleng kepopuleran dalam sebuah event yang berbiaya mahal. Tidak hanya tidak etis, tapi juga tidak fair bagi merek – khususnya merek kompetitor – yang membeli hak sponsorship yang tak mahal itu.
Tapi, ternyata tidak gampang menghapus praktik ini. Opini sebaliknya menilai event seperti Piala Dunia itu sudah menjadi event bersama. FIFA sendiri sudah berupaya mencegah, tapi praktiknya tetap jalan terus (Bdk. Sigit Kurniawan, Majalah Marketeers edisi Februari 2014)
Bila dilihat dari konsep Branding with Character, praktik ambush marketing ini merupakan tindakan yang tidak etis. Kenapa tidak etis, karena praktik ini melanggar prinsip dan nilai keadilan (fairness). Pengertian Fairness di sini lebih pada bermain sesuai aturan.
Dalam kasus Piala Dunia, FIFA secara resmi menyatakan ambush marketing sebagai aktivitas pemasaran yang dilarang. Alasannya, aktivitas ini mencoba mengambil keuntungan besar dan citra tinggi dari suatu peristiwa tanpa otorisasi dari pengelola event. FIFA berupaya melindungi merek-merek yang secara resmi mendukung organisasi lewat sponsorship.
Selain fairness, praktik ambush marketing juga melanggar prinsip respect. Dalam hal ini, respek kepada kompetitor. Apa dampaknya pada merek? Setiap praktik branding yang melanggar etika dan nilai-nilai, berpotensi merusak reputasi merek tersebut. Ketika reputasi rusak, kepercayaan publik kepada merek. Apalagi publik sudah sangat cerdas berkat konektivitas di era Internet sekarang ini.
Meski sudah sering terjadi dan tampaknya akan selalu terjadi, ambush marketing tetap muncul. Termasuk di ajang Piala Eropa yang akan segera memeriahkan bulan Ramadan ini. Bagi konsumen sepak bola, hal itu tak menjadi masalah. Asal mereka bisa menonton tim jagoannya, itu sudah cukup.
Namun, bagi merek sponsor yang sudah menggelontorkan banyak duit, ini bisa menjadi hal yang menyakitkan. Nah!