Oleh Ajeng Parameswari, President of Digital Business, Visinema
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi ekonomi tinggi dengan Produk Domestik Bruto (PDB) 2021 sebesar Rp 62,2 juta per kapita, lebih tinggi dari sebelum pandemi (Rp 59,3 juta tahun 2019), sebagaimana dikutip dari pernyataan Menko Airlangga di Jakarta, 8 Februari 2022. Adanya peningkatan konsumsi rumah tangga sekitar 2,02% pada tahun 2021, termasuk di antaranya hiburan dan rekreasi, tentunya membawa angin segar bagi industri film.
Melihat perjalanannya, industri perfilman Indonesia mengalami transisi seiring dengan perkembangan bioskop sebagai industri dari zaman ke zaman. Dimulai dengan konsep proyektor di ruang terbuka, yang kemudian menjadi cikal bakal ‘layar tancap’ (bioskop keliling). Berkembang menjadi bioskop permanen di awal abad 20, misalnya Metropole yang didirikan pada awal 1930-an di Jl. Diponegoro (kemudian berubah nama menjadi Megaria). Lalu konsep sinepleks, bioskop permanen dengan lebih dari satu layar, mulai diperkenalkan pada era tahun 1980-an. Hingga menjadi rantai multiplex besar yang saat ini kita kenal.
Namun, seiring dengan meningkatnya penetrasi internet yang dibarengi dengan menjamurnya produk dan layanan digital, muncul pertanyaan ke mana arah masa depan industri film dan bioskop konvensional?
Tidak diragukan, internet telah memberikan ruang sangat besar bagi tumbuhnya alternatif pilihan konsumen untuk menikmati film (konten). Dan, platform Over The Top (OTT) menjadi salah satu inovasi disruptif tersebut.
Melansir dari Harvard Business Review, platform OTT menjadi wadah pendistribusian konten video yang didistribusikan langsung ke konsumen melalui internet. OTT membuat pengalaman menonton menjadi lebih nyaman, konten menjadi lebih mudah diakses.
Tak hanya itu, dari sisi harga juga lebih terjangkau di segmen pengguna yang lebih luas. Saat ini, siapapun yang memiliki ponsel dan koneksi internet dapat menonton film di mana saja dan kapan saja.
Pada tahap awal, OTT seperti Netflix, Prime Video, Hulu, dan banyak lagi, hanya diperlakukan sebagai aplikasi untuk menonton film yang keluar di bioskop. Kini, OTT telah berevolusi dengan memproduksi konten-konten unik seperti serial web atau film orisinal yang hanya tayang eksklusif di masing-masing platform untuk menarik konsumen ke dalam platformnya.
Alhasil, platform ini berkembang cukup pesat. Menurut data yang dikeluarkan oleh Allied Market Research, pasar OTT di Indonesia besarnya mencapai US$ 360 juta pada tahun 2019, dan diproyeksikan akan meningkat menjadi US$ 4,45 miliar pada tahun 2027. Menurut Media Partner Asia, total menit streaming mingguan video online di perangkat seluler tumbuh 60% secara agregat di seluruh Indonesia. Hal ini didorong oleh faktor-faktor penunjang seperti konektivitas internet yang cepat, smartphone yang lebih murah, paket data yang kompetitif dan kapasitas bandwith yang lebih besar.
OTT dan Konsumen Indonesia
Dengan adanya pandemi, menonton film di platform OTT menjadi alternatif logis dari cara konvensional menonton film di bioskop. Walaupun ambience dengan layar besar dan sound system canggih membuat pengalaman menonton di bioskop tak tergantikan, pandemi ini telah menciptakan kekosongan besar dalam industri film karena tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat bioskop kembali penuh seperti sediakala.
Selain itu, banyaknya film-film yang tidak dapat ditayangkan di bioskop -karena bioskop harus makin selektif di tengah keterbatasan jumlah layar dan kursi- makin mendorong OTT untuk mengambil peranannya dalam industri film di Tanah Air.
Dari sini, makin banyak konsuman yang beralih ke sumber hiburan di rumah. Aplikasi streaming video online dianggap cukup memenuhi ekspektasi. Dengan harga berlangganan berkisar Rp 30.000-Rp 50.000 per bulan, konsumen bisa menonton film yang tersedia dalam platform sepuasnya. Adanya integrasi teknologi seperti personalisasi konten dan rekomendasi riwayat tontonan juga membuat pengalaman menonton menjadi lebih mudah.
Dengan kata lain, platform OTT telah membuat pengalaman menonton film menjadi lebih praktis, murah dan mudah, di samping menawarkan ragam pilihan yang lebih banyak.
OTT dan Produsen Film Indonesia
Munculnya beragam platform OTT di Indonesia juga melahirkan peluang dan kesempatan bagi para produsen film tahu kreator konten lokal. Pasalnya, banyak dari platform OTT ini yang berfokus pada pembuatan konten lokal. Ditambah, minat masyarakat terhadap film lokal yang berkualitas juga mengalami pertumbuhan permintaan. Hadirnya platform OTT pun menjadi jalur distribusi alternatif untuk memperkenalkan karya kreator lokal.
Di dalam dunia yang kian tidak ada batasan, OTT juga memberikan peluang terhadap kreator konten agar kontennya dapat diakses oleh jutaan calon konsumen di seluruh Indonesia dengan biaya distribusi dan promosi yang jauh lebih murah disbanding merilis film secara konvensional.
Peluncuran film di OTT bahkan memungkinkan film tersebut untuk dapat diakses secara internasional. Sehingga, kreator konten memiliki kesempatan untuk bisa memperkenalkan kontennya ke pasar yang lebih luas yang memungkinkan pemain dan kru menjangkau audiens melintasi batas dan pada akhirnya menciptakan peluang-peluang baru.
OTT hari ini telah menjadi ‘game changer’ di industri film. Hanya dengan berintegrasi dengan teknologi, industri film bisa tumbuh dan berkembang di era ‘new normal’ ketika semua orang yang memiliki ponsel/tablet/laptop bisa menikmati hiburan sesuka hati.
Singkatnya, pengalaman menonton film dan menikmati hiburan telah didefinisikan ulang dengan cara baru. Industri film akan berkembang ke level baru, dengan adanya lebih banyak konten yang bisa ditonton, dan hadirnya film baru yang rilis setiap minggu (atau bahkan setiap hari) di seluruh platform OTT.
Bisa disimpulkan, bisnis apa pun yang berpusat kepada pelanggan akan melihat teknologi bukan hanya sebagai kesempatan untuk berkembang, namun juga sebagai kebutuhan untuk bertahan. Dan bagi produsen film, OTT menjadi sekutu yang dapat diandalkan.
*Kolom ini merupakan kolom kolaborasi Marketeers x GDP