PMI Manufaktur Terkontraksi, Kemenperin Salahkan Kemendag

marketeers article
Ilustrasi pabrik pengolahan makanan. Sumber gambar: 123rf.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menuding adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sebagai biang keladi terkontraksinya Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur. Adapun PMI manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 sebesar 49,2 poin.

S&P Global menyebutkan PMI manufaktur 2024 dipengaruhi oleh sedikit penurunan pada output dan pesanan baru, memperpanjang periode penurunan yang telah berlangsung selama empat bulan. Febri Hendri Antoni Arif, Juru Bicara Kemenperin menjelaskan selama belum ada kebijakan yang signifikan untuk mendukung sektor manufaktur dan melindungi pasar dalam negeri kondisi manufaktur nasional masih akan lesu.

BACA JUGA: RI dan India Pertahankan PMI Manufaktur di Atas 50 dalam 25 Bulan

Bahkan, Febri tidak merasa kaget dengan hasil buruk PMI manufaktur Indonesia terus kontraksi.

“Ini merupakan bukti konkrit dampak dari Permendag Nomor 8 Tahun 2024,” kata dia melalui keterangan resmi, Jumat (1/11/2024).

Pemberlakuan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 merupakan salah satu penyebab menurunnya kinerja manufaktur, karena pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk jadi impor. Beleid ini menghilangkan aturan penerbitan Persetujuan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk produk pakaian jadi.

BACA JUGA: Tingginya Harga Gas Bumi Tertentu Jadi Tekanan Industri Manufaktur

Dari 518 kode HS kelompok komoditas yang direlaksasi impornya dalam kebijakan tersebut, hampir sebagian besar, yakni 88,42% atau sebanyak 458 komoditas, merupakan kode HS barang jadi yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. Berlakunya kebijakan itu telah membuka pintu seluas-luasnya bagi produk jadi impor dan telah membanjiri pasar Indonesia.

“Jadi, kami mempertanyakan pernyataan Menteri Perdagangan bahwa Permendag Nomor 8 Tahun 2024 bertujuan melindungi industri dalam negeri, terutama industri tekstil. Fakta yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan ini tidak mensyaratkan Pertek atau rekomendasi untuk mengimpor barang jadi ke pasar domestik Indonesia. Akibatnya, semua produk tekstil dan produk tekstil (TPT), terutama produk jadi, dibukakan pintu impor,” kata Febri.

Febri menambahkan Kemenperin tidak bisa bertindak sendiri dalam menjaga iklim yang kondusif bagi industri dalam negeri agar terus tumbuh dan menjadi tulang punggung untuk mencapai target pertumbuhan. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar ekonomi 7%-8% sehingga kinerja manufaktur menjadi sangat penting.

“Kemenperin sudah meng-exercise semua tugas pokok dan fungsi kami sebagai pembina industri demi mendongkrak pertumbuhan industri, guna mencapai pertumbuhan ekonomi 7%-8%. Oleh karena itu, kami mengharapkan agar kementerian dan lembaga yang memiliki kebijakan terkait sektor manufaktur bisa bersinergi untuk mendapatkan dampak positif bagi pertumbuhan sektor industri,” ujar Febri.

Adapun salah satu kebijakan dari kementerian dan lembaga lain yang juga dibutuhkan dan mendesak saat ini oleh Kemenperin serta industri adalah pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) pakaian jadi. Sebelumnya, Kemenperin sudah mengusulkan BMTP pakaian jadi dan dibahas di Bandung beberapa waktu lalu.

“Namun kementerian dan lembaga terkait masih menolak usulan tersebut. Sektor industri benar-benar membutuhkan perlindungan pada pasar produk jadi atau produk hilir sehingga perlu segera ada tindakan nyata agar industri manufaktur bisa bertahan,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS