Pondasi Bisnis Asuransi Astra Berbuah Penghargaan

marketeers article

Asuransi Astra punya visi besar pada industri asuransi nasional. Selama ini, Asuransi Astra sangat identik dengan produk perlindungan untuk kendaraan melalui Garda Oto. Seiring perkembangan zaman, Asuransi Astra terus memperluas channel, mulai dari aplikasi, chatbot, hingga situs.

Hal ini mereka lakukan karena banyak faktor, di antaranya stagnansi yang dialami industri otomotif dan perkembangan tren dunia digital. Menurut laporan mereka, Asuransi Astra membukukan pertumbuhan premi sekitar 7% atau sekitar Rp 3,38 triliun pada kuartal tiga 2018. Angka ini disumbang oleh bisnis ritel mereka di pasar otomotif sebesar 50%, pasar komersial sebesar 30%, dan sektor kesehatan sebesar 15%.

“Pertumbuhan industri otomotif kini terbatas hanya single digit dan 50% portofolio kami berasal dari sini. Ketika pasar ritel melemah, dampaknya lumayan. Tetapi, boleh dibilang blessing in disguise juga karena harga komoditas naik, batu bara misalnya. Sehingga, portofolio bisnis komersial meningkat. Ini yang perlu kami lakukan ke depan. Diversifikasi,” tutur Rudy Chen, CEO Asuransi Astra.

Dalam melakukan diversifikasi, Asuransi Astra memperkuat sektor digital. Penetrasi internet dan smartphone serta besarnya populasi generasi milenial yang tech savvy menjadi pasar masa depan bagi mereka.

Pada perjalanannya, Asuransi Astra membangun infrastruktur digital mereka, baik di internal perusahaan maupun eksternal untuk berkomunikasi dengan konsumen. Di sini, Asuransi Astra memiliki Garda Mobile –aplikasi untuk berbagai aktivitas seputar produk-, Chatbot Garxia –penjualan asuransi melalui fitur chatbot-, dan Happyone.id –channel penjualan asuransi ritel secara online-. Meski kontribusi kanal digital masih kecil, Rudy mengatakan upaya ini penting bagi pertumbuhan bisnis mereka di masa depan.

Menurut paparan Rudy yang tengah mempelajari tren dunia, semua perusahaan kini mendalami dunia digital. Namu, setiap negara mengalami kondisi yang berbeda. Seperti di London, Inggris perkembangan digital sangat tinggi dengan penetrasi sebesar 60%-70%. Namun secara subjektif, brand loyalty dari konsumen rendah. Sensitivitas terhadap harga pun cukup tinggi.

Sementara di Amerika Serikat, walau investasi ke dunia digital cukup banyak, namun tak berkembang seperti di Inggris karena tidak didukung peraturan pemerintah. Pasalnya, setiap negara bagian memiliki izin terpisah. Jadi, sulit bagi pemain digital untuk berkembang secara nasional. Di sisi lain, perusahaan konvensional bergerak cukup canggih. Mereka juga membeli teknologi untuk diaplikasikan di ranah digital.

“Lalu, pola mana yang kami anut? Waktu yang akan menjawab. Dalam lima tahun ke depan, kami akan tetap menjalankan bisnis secara konvensional, namun kanal digital akan tetap kami kembangkan. Dapat dikatakan, hari ini kami adalah pemain terbesar di segmen otomotif. Ke depan, kami harus menjadi leader dalam industri asuransi,” tutup Rudy.

Related