Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menawarkan Cina untuk berinvestasi pada sektor pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Papua. Adapun PLTA yang ditawarkan yakni di Kayan dengan potensi 13.000 megawatt (MW) dan Mamberamo dengan potensi 24.000 MW.
Bahlil menuturkan langkah tersebut dilakukan untuk pengembangan potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Selain itu, sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk menjaga stabilitas investasi Cina di Tanah Air agar tetap berjalan dengan baik.
BACA JUGA: Tambah Bauran Energi Bersih, PLN Operasikan 2 PLTA dan 3 PLTM
“Ini sebuah potensi yang kita tawarkan ke Cina untuk bisa berkolaborasi bersama. Ini tidak mungkin kita lakukan sendiri,” kata Bahlil dalam acara The 7th Indonesia China Energy Forum (ICEF) di Kuta Selatan, Bali, dikutip Rabu (4/9/2024).
Menurutnya, sektor energi memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan perekonomian dan kemajuan teknologi antarkedua pihak. Pemerintah berkomitmen memajukan tujuan bersama yang mencakup pengembangan energi berkelanjutan, inovasi teknologi, dan pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA: PLN Mulai Bangun PLTA Cisokan, Investasi Capai US$ 850 Juta
“Saya tawarkan kepada teman-teman investor Tiongkok beberapa potensi yang dapat kita kembangkan bersama. Di sinilah pertemuan untuk menemukan formulasi yang tepat dalam rangka pengembangan bisnis bersama,” ujarnya.
Bahlil menyinggung transisi energi sebagai terobosan utama dalam mewujudkan komitmen global guna mencapai dekarbonisasi. Indonesia bahkan menunjukkan sikap serius atas upaya tersebut kepada pemerintah Cina.
“Kami telah mengembangkan peta jalan emisi nol bersih atau Net Zero Emission (NZE) yang komprehensif di sektor energi,” ujarnya.
Aspek lain yang menjadi fokus pemerintah pada masa mendatang adalah keberadaan hilirisasi yang berorientasi green energy dan green industry. Bahlil menyebut kunci dari implementasi kebijakan ini adalah keberadaan listrik.
Untuk itu, berdasarkan roadmap transisi energi, pemerintah Indonesia menerapkan strategi menuju karbon netral dari sisi suplai, seperti fokus pada pembangkit listrik tenaga surya, hidro, panas bumi, dan hidrogen. Di samping itu, langkah lain yang diambil adalah penghentian pembangkit listrik batu bara secara bertahap, dan penggunaan teknologi rendah emisi, yaitu teknologi carbon capture and storage (CCS) atau carbon capture utilization and storage (CCUS).
Sementara itu, dari sisi demand, antara lain pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemanfaatan biofuel, dan penerapan manajemen energi. Bagi Indonesia, kata Bahlil, kemampuan mencapai NZE pada tahun 2060 harus tetap mempertimbangkan konteks dan kondisi nasional di masing-masing negara.
Misalnya, Indonesia masih mengoptimalkan pengembangan energi fosil selaras dengan kemajuan masif pembangunan infrastruktur energi bersih. Saat ini, pemerintah sedang mengkaji, memperhitungkan, dan mengalkulasi tentang kebutuhan energi dalam negeri dengan geopolitik ekonominya.
Bahlil meyakini kerja sama dan program yang telah dihasilkan di bawah kerangka bilateral Indonesia dan Cina terus menunjukkan progres yang signifikan.
“Tidak perlu ada keraguan dalam kebersamaan (kerja sama) ini. Saya yakin yang pertama dalam investasi adalah nyaman dan Indonesia menawarkan rasa kenyamanan itu,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk