Kesadaran hijau yang mengacu pada perbaikan dan pengelolaan lingkungan hidup tampaknya mulai menjadi kesadaran bersama. Berbagai krisis lingkungan seperti perubahan iklim maupun pemanasan global mendesak orang untuk kembali berkawan dengan alam. Alam bukan untuk semena-mena dieksploitasi lagi karena alam juga terbatas. Hal ini tampak juga dengan fenomena krisis energi yang menimpa banyak negara. “Back to Nature” tampaknya juga bukan sekadar slogan bagi mereka yang sok peduli pada alam. Gerakan mencintai lingkungan ini pun marak dilakukan di mana-mana dalam aneka bentuk kegiatan yang beragam. Gerakan kembali ke alam ini muncul dengan aneka embel-embel, seperti eco, green, hijau, dan sebagainya.
Gerakan “penghijauan” ini juga terjadi di ranah perbankan dengan terminologi “Green Banking.” Definisi green banking juga beragam. Termasuk ada yang memakai istilah “ethical banking” untuk maksud yang kurang lebih sama. Sebenarnya, istilah “Green Banking” mempunyai cakupan lebih luas dari sekadar hijau alias terkait dengan pembangunan lingkungan hidup. Tapi, istilah ini juga mencakup pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan sosial yang lebih baik.
Menurut Bank Indonesia—seperti yang dipaparkan Ratih A. Sekaryuni, Peneliti Eksekutif Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI dalam makalahnya, Green Banking diartikan sebagai perbankan yang di dalam menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan—sustainabilty development. Terutama dalam kredit maupun pembiayaan, yaitu adanya keseimbangan ekologi (lingkungan hidup), kesejahteraan manusia, dan serta pembangunan sosial budaya masyarakat. Dari definisi ini, tampak kata “pemberdayaan” dan “keberlanjutran” menjadi kunci.
Definisi tadi senada dengan definisi dari Bank Dunia. Unsur “hijau” mengacu pada empat unsur kehidupan, yakni alam, kesejahteraan manusia, ekonomi, dan masyarakat. Green banking ini menjadi strategi bisnis jangka panjang—selain mengejar profit juga membangun keberlanjutan pada alam dan masyarakat. Dari sini, boleh dibilang green banking merupakan marketing 3.0 di ranah perbankan—marketing yang berbasis pada nilai-nilai dan human spirit serta tak sekadar mengejar profit, tapi juga peduli pada people dan planet.
Sekarang ini, menurut Ratih Sekaryuni, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mendorong fungsi intermediasi dan keuangan inklusif sejalan dengan tren global di mana telah memasukkan aspek perlindungan lingkungan hidup. Perbankan memerlukan arah dan kebijakan yang jelas dan aturan yang memadai sehingga perbankan mampu mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan tersebut sepatutnya dilaksanakan oleh perbankan Indonesia, mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa besar. Sementara itu, pemerintah mempunyai kekuatan memengaruhi terciptanya sistem lembaga keuangan—baik bank maupun non bank—yang peduli pada masalah lingkungan. Ratih Sekaryuni menandaskan lembaga ini diharapkan tegas pada para perusak lingkungan sebagaimana tegas pada AML (anti-money laundering) maupun CFT (counter-terrorism financing). Gamblangnya, lembaga keuangan ini tegas pada usaha yang memberi dampak negatif pada lingkungan hidup. Perbankan tegas dan selektif dalam memberikan bantuan keuangan, khususnya kepada pihak-pihak yang terbukti melakukan perusakan lingkungan. (Bersambung)