Maraknya penggunaan teknologi artificial intelligence (AI) di sektor keuangan kini menimbulkan kekhawatiran baru, terutama terkait ancaman deepfake yang semakin canggih. Marshall Pribadi, CEO Privy sekaligus Wakil Ketua Umum IV Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), menyoroti bahwa perkembangan teknologi AI yang pesat menjadi tantangan serius bagi industri keuangan.
“Masalah sekarang ini, deepfake video dengan generated AI sudah mengerikan sekali. Perkembangannya sangat smooth sehingga deepfake protection akan kewalahan menghadapi video yang semakin realistis,” kata Marshall seperti dikutip dalam siaran persnya, Minggu (17/11/2024).
Marshall menekankan bahwa teknologi deepfake saat ini sudah mampu menciptakan video yang sulit dibedakan dari aslinya, sehingga perlindungan terhadap data pribadi menjadi semakin kompleks. Marshall menguraikan betapa rentannya keamanan data pribadi di era digital ini.
“Saat ini, hanya dengan bermodal foto KTP yang sudah beredar, potensi penyalahgunaan data untuk membuka akun di platform keuangan sangat besar,” jelasnya.
BACA JUGA: Grab dan OVO Uji Coba Digitalisasi Program Makan Bergizi Gratis
Menurut Marshall, jika data tersebut jatuh ke tangan yang salah, akun baru dapat dibuat tanpa sepengetahuan pemilik asli, membuka peluang bagi praktik penipuan. Sebagai solusi, Marshall menekankan pentingnya identitas digital yang berfokus pada pengguna atau user-centric digital identity.
Dengan pendekatan ini, verifikasi tidak hanya bergantung pada foto KTP, tetapi menggunakan identitas digital berbasis elektronik yang lebih aman. “Ini bukan sekadar formalitas, tetapi upaya untuk melindungi integritas data pengguna,” ujarnya.
Lebih lanjut, Marshall menjelaskan bahwa dengan sistem identitas digital yang terpusat, pelaku kejahatan yang terdeteksi melakukan penipuan di satu platform P2P lending, tidak akan dapat membuka akun di platform keuangan lain.
“Sistem ini memungkinkan kita untuk mendeteksi catatan fraud secara real-time, sehingga mencegah fraudster dari menyebar ke platform lain,” tambahnya.
BACA JUGA: Meroket 532,7%, Laba Bersih BCA Digital Tembus Rp 72,13 Miliar
Fraud di sektor keuangan, menurut Marshall, dilakukan oleh sindikat yang terorganisir. Mereka bekerja dengan berbagai metode, dari penyalahgunaan email hingga nomor telepon, demi mencari celah di sistem yang lemah.
Dalam menghadapi ini, Marshall menekankan pentingnya kolaborasi dengan pihak ketiga netral yang memiliki akses ke data federasi, agar segala upaya penipuan dapat diidentifikasi dan dicegah sejak awal.
“Efek jera paling sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan tanda tangan digital tersertifikasi, yang diatur oleh UU ITE. Sertifikat elektronik ini juga berfungsi sebagai identitas digital yang sah,” paparnya.
Menurutnya lagi, jika pelaku penipuan menggunakan identitas palsu, pembekuan identitas digital mereka dapat menjadi langkah efektif untuk mencegah akses lebih lanjut ke layanan keuangan. Marshall menyimpulkan bahwa upaya melindungi data pribadi dan mencegah penipuan digital memerlukan kolaborasi antara regulator, platform keuangan, dan pengguna.
“Dengan membekukan identitas digital pelaku yang terlibat, kita bisa memberikan efek jera yang nyata, sehingga mereka tidak bisa lagi membuka akun di platform lain,” tutup Marshall.
Melalui pendekatan berbasis identitas digital yang lebih terpusat dan aman, diharapkan sektor keuangan dapat terus berkembang tanpa mengorbankan keamanan data penggunanya.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz