Muslim selalu menjadi perbincangan di dunia Barat lantaran beberapa kelompok menuding mereka berkaitan dengan serangkaian teror yang mengatasnamakan agama. Di sisi lain, muslim menjadi target pasar yang kian menarik oleh para pemegang merek. Jika dijalankan dengan benar, pasar ‘halal’ muslim di saat yang sama dapat mememperluas pasar produk ethical (atau yang diciptakan dengan nilai-nilai kearifan dan etika).
Di belahan dunia khususnya di negara-negara dengan Islam sebagai agama minoritas, muslim dianggap sebagai underserved market, di mana demand mereka dalam mengonsumsi barang dan jasa tak sebanding dengan supply yang ada. Padahal, menurut PEW Research Center, populasi muslim mencapai lebih dari 1,59 miliar jiwa pada tahun 2017 dan diprediksi mencapai 2,7 miliar jiwa pada tahun 2050.
Laporan yang dilansir The Economics juga menyebut bahwa pasar muslim bakal menyentuh lebih dari US$ 5 triliun pada tahun 2020, melesat dari US$ 3,6 triliun pada tahun 2013.
Layaknya konsumen pada umumnya, konsumen muslim sejatinya memiliki perbedaan selera dan juga minat. Akan tetapi, satu hal yang menarik dari kelompok ini adalah mereka mesti mengonsumsi barang dan jasa berdasarkan arahan yang tertulis dalam kitab suci Al-Quran.
Sebagai sebuah jalan hidup, Islam adalah agama yang bukan hanya berisi serangkaian praktik dan tradisi, melainkan juga segenap tata-cara yang mengatur manusia selama hidup di dunia. Mulai dari bagaimana mereka makan, berpakaian, hingga soal keuangan dan investasi.
Makanan Halal dan tayyib
Makanan halal adalah satu sektor bisnis yang cukup besar nilainya dengan perkiraan mencapai US$ 1,6 triliun pada tahun 2018. Sektor ini juga diestimasi tumbuh lebih cepat bila dibandingkan dengan pasar makanan konvensional, di mana pada tahun 2018 makanan halal ditaksir menyumbang 17% dari total pasar makanan di dunia.
Kita tentu tahu bahwa muslim yang taat hanya boleh mengonsumsi daging dari hewan tertentu yang disembelih dengan menyebut nama Allah -salah satu syarat wajib sebuah makanan disebut halal-. Ini artinya, mereka mencari produk dengan logo halal terpampang jelas di setiap kemasan.
Tak hanya itu, syarat sebuah makanan disebut halal juga menyangkut pisau yang digunakan oleh penjagal harus benar-benar tajam. Sehingga mampu mematikan hewan secara lebih cepat, tanpa harus menyakitinya. Leher dari hewan yang disembelih juga tidak boleh terpenggal sepenuhnya. Tentu saja, daging hewan juga dilarang terkontaminasi dengan daging non-halal.
Perkembangan pasar halal di dunia memang masih didominasi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan populasi muslim di kawasan ini begitu banyak, di mana Indonesia menyembuang 205 juta jiwa penduduk muslim dunia.
Akan tetapi, lambat laun negara non-muslim juga mulai mengadopsi konsep halal dalam rantai pasok makanan. Seperti Negeri Matahari Terbit Jepang yang mulai menghadirkan merek-merek lokal dengan label halal. Begitu pun dengan Singapura yang popuasi muslimnya sudah mencapai lebih dari 15%.
Ogilvy Noor, perusahaan branding khusus muslim menyarankan bahwa selain mengayomi sistem makanan halal, perusahaan juga bisa menawarkan makanan organik dan produk ethical (berkode etik) kepada konsumen muslim.
Pasalnya, produk halal dan ethical sangatlah bersinggungan satu-sama lain, sehingga ada kesempatan produk halal nan ethical untuk sama-sama tumbuh di pasar global.
Whole Earth Meats adalah salah satu contoh perusahaan yang memanfaatkan ceruk tersebut. Produsen daging dari Amerika Serikat ini tidak hanya mengikuti ketentuan halal, melainkan juga megadopsi sistem peternakan yang ramah lingkungan dan beretika.
Ini menjadi contoh bagaimana produk halal mampu merangkul pasar yang lebih luas, selain tentu saja kaum muslim itu sendiri. Dengan persepsi bahwa makanan halal dikontrol secara lebih ketat, produk halal juga mampu diterima oleh konsumen non-muslim.
Misalnya, hewan yang disembelih dengan metode halal menjalani setidaknya dua kali tahapan verifikasi kesehatan. Pertama, makanan halal diperiksa oleh otoritas negara setempat (misalnya BPOM di Indonesia). Kedua, verifikasi yang sama juga dilakukan oleh otoritas sertifikasi halal (seperti Majelis Ulama Indonesia saat ini).
Definisi Kembali Halal
Makna halal tidak sekadar hewan tersebut disembelih dengan menyebut nama Allah, melainkan juga bagaimana hewan yang disembelih diperlakukan secara baik dan benar. Karenanya, diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang konteks daging hewan halal yang lebih luas, yang menyangkut ‘tayyib‘ sesuai definisi Al-Quran
Tayyib atau secara harfiah berarti ‘baik’ berkaitan dengan bagaimana hewan tersebut dipelihara, dan ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan para hewan itu. Ada kekhawatiran bahwa penekanan pada halal malah mengabaikan tayyib. Padahal, daging yang halal seharusnya sudah lah tayyib.
Willowbrook Farm, salah satu pertanian organik berkelanjutan di dekat Oxford, Inggris, memproduksi daging halal dengan berkomitmen pada konsep tayyib. Portal berita The Guardian sempat mewartakan Willowbrook sebagai produsen makanan halal yang etichal.
Orang berasumsi bahwa daging halal harus memiliki standar kesejahteraan hewan yang lebih tinggi ketimbang daging non-halal. Sayangnya, tidak ada standar sertifikasi yang mendefinisikan halal sebagai bagian yang berkaitan dengan bagaimana hewan itu dibesarkan sebelum disembelih.
Ruby dan Lufti Radwan, pemilik dari Willowbrook Farm mengatakan bahwa tayyib adalah inti dari etika religius mereka. Mengutip ayat Al-Quran, Ruby berpendapatan bahwa kaum Islam sejatinya adalah ‘pelayan’ terbaik di muka bumi. Mereka memiliki tanggung jawab yang luar biasa untuk memelihara bumi beserta seluruh isinya.
“Anda harus hidup dalam keseimbangan alam dengan bumi”, kata Ridwan seperti dikutip dari The Guardian. Melihat lingkungan dan hewan yang mereka konsumsi merupakan bagian dari praktik keagamaan. Ruby setuju bahwa banyak umat Islam dan sebagian besar masyarakat luas tidak benar-benar memahami konteks halal yang sebenarnya; yaitu yang beretika selayaknya makna tayyib itu sendiri.