Memiliki produk bagus, tetapi bingung bagaimana memasarkannya. Inilah yang jamak dialami oleh para pelaku UKM di Indonesia. Boleh dibilang, kreativitas mereka dalam menciptakan produk patut diacungi jempol. Tapi, tak jarang, mereka kebingungan bagaimana mendapatkan pasar ideal. Bahkan, promosi pun tak jarang masih menjadi kendala yang dihadapi oleh mereka.
Tapi, teknologi hadir untuk menjawab persoalan mereka. Di era konektivitas ini, pelaku UKM bisa memanfaatkan kanal-kanal digital untuk mempromosikan dan memasarkan produk-produk mereka. Apalagi kalau produk dan layanan yang ditawarkan sangat kental digitalnya seperti yang dialami oleh Copycino – sebuah usaha penyedia layanan printing gratis.
Menurut Theodorus Ega, tak gampang memasarkan produk yang terbilang kreatif ini kepada khalayak. Baginya, harus ada upaya kuat untuk membangun kepercayaan lebih dulu.
“Bisnis ini gratis. Banyak yang mencibir, mana ada bisnis gratis dan dari mana keuntungannya. Dari sini, kami menguatkan mental lebih dulu menghadapi tren sosial semacam itu,” ujar Theodorus.
Tantangan berikutnya adalah ekspansi pasar. Menurutnya, selama ini, pasar Copycino adalah para mahasiswa di kampus-kampus. Tak gampang melebarkan sayapnya ke kampus-kampus baru karena terganjal aturan dan kebijakan kampus masing-masing. Namun, ini tak mematahkan arang Copycino. Theodorus dan teman-temannya membangun layanan ini bukan di dalam kampus, tetapi di luar kampus. Tantangan lain, datang dari internal. Perbedaan gagasan, sambung Theodorus, terjadi di kalangan internal pengelola. Tapi, masa ini sudah lama terlewati.
“Terkait dengan model bisnis, kami menerapkan low cost strategy. Kami benar-benar mengurangi cost-cost yang ada agar mampu mengoptimalkan jasa printing gratis ini,” imbuhnya.
Karena produk dan layanannya cukup techy, Copycino memanfaatkan strategi pemasaran digital juga dalam meraih pasar yang lebih besar. Sebut saja kanal-kanal media sosial, seperti Instagram dan Line. Capycino juga memainkan fungsi SEO (Search Engine Optimization), menggunakan jasa pihak ketiga seperti Google Ads maupun menerapkan digital marketing.
Selain itu, Copycino berkolaborasi dengan para pengguna untuk menyebarkan informasi melalui akun media sosial mereka. Tak ketinggalan memanfaatkan event-event.
Pendekatan Personal
Dalam pemasaran produk, Copycino sedikit berbeda dengan produk kuliner semacam Burgreens. Pemasaran produk Burgreens menyesuakan segmen pasar yang disasar. Mengingat segmen tersebut unik, yakni orang-orang yang peduli pada gaya hidup sehat.
“Burgreens merupakan restoran dan katering vegetarian organik. Dari namanya sendiri Burgreens terdiri gabungdan dari dua kata, yakni burger dan green. Burger melambangkan fast food. Sedangkan green melambangkan berbasis nabati, sehat, dan ramah lingkungan,” ujar Helga Angelina, founder Burgreens.
Komunikasi tersebut dilakukan secara kontinu agar positioning Burgreens sendiri makin kokoh ditangkap oleh benak konsumennya. Hal ini perlu didukung dengan layanan yang mengusung pengalaman.
“Untuk layanan, kita fokus di real & hearty service – bagaimana tim Burgreens bisa memberikan servis dari hati. Jadi tidak ada SOP yang kaku, kita justru mendorong tim operasional kami untuk menjadi diri sendiri, asalkan sopan dan tulus,” katanya.
Visual Juga Penting
Komunikasi pemasaran juga membutuhkan bentuk visual agar pesan bisa dengan gampang disampaikan kepada pelanggannya. Hal ini yang dilakukan oleh Markobar, merek martabak besutan Gibran Rakabuming Raka.
Untuk branding, Gibran mendesain sedemikian rupa logo, warna, dan sebagainya. Gibran menggambar seorang superhero semacam Superman dengan logo M di dadanya. Kafe Markobar dekat Grand Supermal Solo ini belum grand opening. Kata Gibran, sifatnya masih percobaan.
“Saya bermimpi Markobar ini nantinya akan menjadi superhero dari Solo. Proses brandingnya bertolak belakang dengan katering ChilliPari karena ini lebih muda banget,” kata Gibran.
Untuk kampanye pemasaran sementara, Gibran mengandalkan Twitter dan Instagram. Sambutannya cukup antusias. Ia mengakui, kedua media sosial ini cukup mumpuni dalam membangun awareness Markobar. Selain konsumen bisa dengan bebas memposting produk, mereka juga bisa saling bercakap-cakap tentang produk dan kafenya.
“Untuk saat ini, kami fokus lebih dulu di produk. Sementara, yang menggarap promosi justru dari konsumen kami. Semua lebih bersifat dari mulut ke mulut,” katanya.
Media sosial juga dimanfaatkan oleh Gibran untuk membangun co-creation bersama pelanggan. Banyak ide dan masukan dari pelanggan yang ditujukan untuk pengembangan produknya.
Selain menggunakan media sosial, Gibran juga memanfaatkan momentum ketika menghadiri aneka seminar. Acara-acara ini dijadikan ajang bagi Gibran untuk mempromosikan Markobar – termasuk ajang mencicipi produk martabak unik tersebut.
“Bahkan, saya rutin berkunjung ke kafe ini saat banyak pengunjung. Tak jarang, pengunjung ingin foto bareng saya dan mem-publish-nya di media sosialnya. Ini juga bisa menjadi promosi tersendiri,” katanya.
Gibran juga tidak takut produk martabaknya akan ditiru oleh pemain lain. Dia mengaku bersyukur bila semakin banyak orang mengedukasi konsumen tentang martabak model ini. Namun, Gibran optimistis jenis roti, tepung, gula yang digunakan tidak bisa ditiru oleh orang lain. Menurutnya, ada komposisi yang tidak bisa ditiru oleh pihak lain.
Apa pelajaran dari ketiga pelaku UKM ini? Pelajarannya, pemasaran itu harus kreatif, baik dalam cara, strategi, desain, maupun konten yang akan disampaikan. Hanya dengan ini, komunikasi merek bakal dilirik oleh konsumen di tengah persaingan yang makin ketat yang mana pesaing juga melakukan hal yang sama. Satu lagi, pemasaran ini harus mengusung diferensiasi. Tanpa ini, kebaruan apa yang mau ditawarkan konsumen?