Produk White Label: Jual Lebih Murah atau Lebih Berkualitas?

marketeers article
produk white label | sumber: 123rf

Jika Anda pernah melihat produk air mineral, snack, hingga sembako yang bermerek nama perusahaan retail, maka itulah yang disebut dengan produk white label. Produk white label banyak ditemukan di toko retail karena umumnya memiliki beragam jenis produk, baik minuman, camilan, hingga personal care

Pada dasarnya, produk ini bisa disebut sebagai bisnis yang profitable. Namun, banyak para pelaku bisnis yang mulai berbisnis produk white label, bukannya untung, mereka malah buntung dan merugi. 

Produk white label ini banyak dilakukan oleh perusahaan retail, seperti Indomaret, Alfamart, Giant dan Hero. Ignatius Untung, Marketing and Behavioral Practitioner, dalam program Market Think di kanal Youtube Marketeers TV menyebutkan perusahaan ini ingin mengambil keuntungan lain di luar lini bisnis utamanya. 

Goal ketika sebuah brand membuat white label itu adalah untuk make money dari existing consumer,” ucap Ignatius.

Perusahaan retail umumnya telah berpengalaman dalam mengelola penjualan dari brand-brand tertentu. Dari data yang ada, perusahaan retail pun memulai untuk bisa mengambil bagian dalam pasar tersebut dengan cara menjual produk sejenis dengan brand sendiri.

BACA JUGA: Bobobox: Strategi Dynamic Pricing Jadi Daya Tarik bagi Gen Z

Ignatius Untung menyebutkan terdapat dua cara untuk memenangkan penjualan pada produk white label.

White label itu jalan dengan dua prinsip. Pertama, jual lebih murah kualitas sama. Kedua, jual lebih bagus harga sama. Jadi, harus ada lebihnya,” ujar Untung.

Tidak ada ceritanya perusahaan ingin menjual kualitas sama dengan harga tinggi atau kualitas lebih rendah dengan harga sama. Perusahaan harus berfokus pada membangun brand yang lebih baik dibanding brand lain yang sudah kuat dan memiliki basis konsumen. 

Perusahaan tersebut tentu akan terbebani oleh biaya branding yang tidak sedikit. Dengan begitu, fokus dalam peningkatan penjualan produk white label adalah dari segi harga yang lebih murah atau kualitas produk yang lebih baik. 

Konsumen yang pintar akan mampu menangkap value tersebut.

“Barang-barang white label itu kebanyakan bermain di low involvement, bukan high involvement. Kalau high involvement, orang akan ngeliatin printilan satu-satu, kualitasnya gimana, kandungannya apa, dan lain sebagainya. Ini akan sulit celahnya untuk masuk,” ujar Ignatius.

Inilah yang menjadi strategi utama perusahaan dalam melihat bagaimana perilaku konsumen dalam membeli produk-produk yang low involvement. Konsumen ini cenderung tidak perlu pertimbangan dan pemikiran yang begitu panjang untuk membeli produk white label.

BACA JUGA: Chatbots: Bangun Percakapan Selayaknya Manusia dengan Asisten Digital

“Kategori yang kedua adalah produk dengan kualitas yang intangible yang ga begitu bisa dibedain rasanya. Contoh, air mineral. Konsepnya adalah, kalau enggak bisa dirasain perbedaan kualitasnya, ngapain bayar lebih?” ucap Untung mengenai produk berkualitas intangible.

Kualitas intangible ini adalah produk yang kualitasnya sulit dibedakan secara mudah dan nyata. Produk yang secara psikologis seperti ini cenderung mudah dimasuki oleh produk white label.

Sebagai contoh adalah produk white label oli yang dimiliki Toyota yang mana konsumen umumnya tidak terlalu memahami bagaimana karakteristik dari produk oli. Konsumen yang memiliki mobil Toyota dan melakukan service, pihak Toyota dapat menawarkan produknya sebagai produk yang dianggap baik oleh konsumen. 

Secara psikologis, konsumen percaya bahwa Toyota-lah yang mengetahui oli yang terbaik untuk mobil Toyota-nya dibanding konsumen itu sendiri. Bahkan, secara ekstrem Toyota bisa menerapkan strategi seluruh mobil Toyota yang melakukan servis harus mengganti oli dengan oli Toyota. 

Strategi yang bisa dilakukan oleh perusahaan selain menurunkan harga adalah menaikkan kualitas produk yang bersifat komoditas tanpa brand dengan memberikan merek. Hal ini biasa ditemukan pada komoditas sayuran, seperti bawang merah. 

Bawang merah yang sebelumnya tidak ada merek dan dianggap sama oleh konsumen dibuat menjadi produk branded dengan menambahkan merek perusahaan retail tersebut. Ini menaikkan brand image dari bawang merah yang dianggap lebih berkualitas dibanding produk tanpa merek. 

BACA JUGA: Brand Positioning Coca-Cola: Ini Bukan Soal Rasa, Tapi Brand Formula

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS