Ada pepatah lama dalam bahasa Inggris yang bila diterjemahkan seperti ini, “Iklan adalah apa yang Anda bayar. Publisitas adalah apa yang Anda doakan”. Apakah masih relevan saat ini?
Pepatah itu bisa menjadi ice breaker bagi para pengusaha dan praktisi PR saat ini yang hendak menjelaskan makna public relations (PR). Ini juga merupakan titik awal yang baik untuk dipahami oleh masyarakat umum.
Meskipun ada banyak artikel menarik tentang kehumasan, kebanyakan orang atau bahkan profesional yang seharusnya tahu lebih baik, masih tidak tahu perbedaan antara iklan dan PR.
Para pemasar terjebak dalam dua dikotomi di atas. Ada yang meyakini PR saat ini tidak lagi bisa diandalkan karena medium media yang menjadi target utamanya telah berkurang.
Adapula yang bilang bahwa dengan semakin seringnya konsumen dibombardir oleh iklan, kepiawaian iklan untuk dapat dilihat dan dipercaya oleh konsumen pun juga berkurang.
Sejatinya, advertising is a paid media and public relations is earned media. Karena itu, departemen PR dalam berbagai perusahaan mesti mampu meyakinkan jurnalis maupun editornya untuk menulis cerita positif tentang perusahaan.
Cerita itu akan ditampilkan sebagai bagian editorial, entah itu di majalah, surat kabar, stasiun televisi, atau situs berita. Bisa dibilang, publisitas media sebenarnya memiliki kredibilitas yang lebih tinggi ketimbang iklan karena ia diverifikasi oleh pihak ketiga yang independen dan terpercaya. Bukan karena adanya transaksi bisnis di dalamnya.
Surat kabar misalnya, sampai saat ini masih tetap dibaca oleh konsumen karena nilai beritanya yang dapat dipercaya. Hal ini yang menurut Direktur Eksekutif Nielsen Media Hellen Katherina turut memengaruhi iklan yang ada di dalamnya.
“Sehingga keberadaan surat kabar sebagai media beriklan sangat penting untuk produk yang mengutamakan unsur trust. Misalnya produk perbankan dan asuransi,” ujar dia.
Paradoksnya, media yang keberadaannya terdisrupsi oleh Internet terus mengelami kemunduran. Catatan Nielsen, jumlah majalah turun dari 162 judul pada tahun 2012 menjadi 96 judul pada tahun 2017.
Sedangkan surat kabar turun tiga judul dalam periode yang sama, yaitu dari 102 menjadi 99 judul. Penurunan ini justru disebabkan karena mereka kalah bersaing dalam memperebutkan iklan.
Tak heran, saat ini editorial dan advertorial menjadi abu-abu. Muncul istilah-istilah baru yang mencoba mengabungkan keduanya dalam upaya menciptakan peluang, sebut saja branded content, sponsored content, dan native ads.
Native ads atau iklan dengan format, fungsi dan kualitas yang menyerupai konten berita itu kian memperoleh perhatian baik dari pengiklan maupun media.
Laporan berjudul Native Advertising & Influencer Marketing Report 2018 yang disusun GetCraft mengungkapkan, bujet yang dialokasikan brand untuk native ads (dibanding total biaya pemasaran) bisa mencapai 16% pada tahun 2018, dibandingkan 9% pada tahun 2017.
“Pergeseran bujet pemasaran menuju native ads menunjukkan adanya pengakuan dari para marketeer bahwa memang saat ini mendapatkan perhatian audiens semakin sulit,” kata Patrick Searle, Co-founder & Group CEO GetCraft.
Editor: Sigit Kurniawan