Bisnis restoran selalu menjadi industri yang selalu booming dan ramai diminati para pebisnis kuliner. Bisnis ini terus bertumbuh dan diprediksi oleh para pakar terus memiliki tren positif selama manusia membutuhkan makan.
Ignatius Untung, pakar Marketing dan Behavioral Science membagikan beberapa rahasia sukses dari bisnis restoran dalam program Market Think pada kanal Youtube Marketeers TV. Pertama dari segi tata letak, restoran sering kali men-display makanan agar terlihat oleh pengunjung dengan berbagai cara, mulai dari foto hingga dummy makanan agar bertahan lama.
Hal tersebut merupakan sebuah aplikasi dari service marketing yang mana sebelum orang membeli produk perlu melihat dulu produknya seperti apa sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.
“Resto termasuk kategori service di mana yang dijual itu sesuatu yang ada wujudnya dan tangible, tapi nggak ready sebelum ada keputusan pembelian, kita harus memutuskan dulu beli, baru dibikin dan dimasak, abis itu baru kelihatan wujudnya,” kata Untung.
Dari hal tersebut, konsumen memiliki risiko yang harus dihindarinya, sehingga foto atau dummy makanan menjadi penting untuk dimiliki oleh restoran. Untung menyebut ketika ada wujud produknya, maka konsumen akan membangun persepsi di dalam otaknya apakah makanan yang akan dipesannya enak atau tidak. Meski tidak akurat, namun konsumen akan merasa lebih aman dibanding tanpa gambaran produk sama sekali.
BACA JUGA: Ternyata Begini Desain Customer Experience di Supermarket!
“Gambaran ini manjur banget untuk men-trigger memori tentang makanan. Ketika memorinya muncul, maka gambaran menu yang ditawarkan bukan sekadar kata-kata saja. Ini jadi visual utuh di benak kita dan memicu reaksi biologis,” ujar Untung.
Sebagai contoh minuman dingin yang ada embun dingin di gelasnya, maka konsumen yang melihat mungkin akan menjadi haus dan menelan air liurnya.
“Makanan adalah sesuatu yang punya daya persuasi tinggi. Hanya dengan melihat kita bisa membangkitkan keinginan karena makanan ada hubungannya dengan sensori, ada indra perasa dan pengecap yang bisa buat kita merasakan dan menyimpan memori tersebut,” ucap Untung.
Untung juga menyebut bahwa hal yang memperkuat persuasi dari makanan adalah availability, dan reachability. Ketika tempat makan mampu menempatkan makanan dan dijual secara mudah dan terjangkau untuk diambil oleh konsumen, maka akan meningkatkan penjualan makanan itu sendiri.
Sebagai contoh warteg, angkringan, restoran padang dan sunda yang menawarkan makanan dekat dengan konsumennya, makanan disajikan tepat di hadapan konsumen, maka konsumen akan secara tidak sadar akan mengambilnya dalam jumlah banyak.
Trik kedua adalah berkaitan dengan harga makanan per item atau per paket. Sebagai contoh di restoran fast food yang menjual menu dengan paketan yang menggiurkan dengan harga yang menarik.
“Strategi ini tujuannya untuk bikin konsumen order lebih dari yang mereka butuhkan, beli lebih, penambahan biayanya tidak seberapa, kita mikirnya gitu,” tutur Untung.
Berbeda lagi jika produk makanan yang dijual dengan cara ketengan dengan ada harga per item. Strategi ini memanfaatkan otak manusia yang tidak pandai menghitung dalam jumlah besar.
BACA JUGA: Kenali Mitos vs Fakta dari Stereotipe Gender Konsumen Indonesia
Biasanya, harga produk satuannya memberikan kesan yang murah. Namun, karena tidak menyadari berapa banyak produk yang diambil, maka konsumen akan menerima harga yang tinggi saat tiba di kasir.
Strategi selanjutnya berkaitan dengan metode pembayaran dan kapan membayar produk tersebut. Ada restoran yang pesan, bayar, dan makan, tetapi ada juga yang pesan, makan, dan bayar.
Sebagai contoh ketika makan dengan sistem all you can eat, konsumen yang sudah membayar di depan akan merasa perlu balas dendam atas biaya makan yang sudah dikeluarkan sebelumnya.
Jika konsepnya bukan all you can eat, maka konsumen akan lebih menikmati makanan yang di depannya karena pain untuk bayar sudah terlewati. Berbeda lagi jika restoran yang membayar di belakang, konsumen akan sangat menikmati makanan tersebut sepuasnya.
Namun, akan merasakan pain ketika harus membayar, terlebih lagi jika makanannya mahal. Selanjutnya adalah konsep open kitchen yang mana dapur ditampilkan di depan untuk membuat orang tertarik.
“Open kitchen kasih sense of transparency dalam hal kebersihan, orang bisa lihat, konsumen akan membangun persepsi ternyata bersih dan aroma makanan bisa lebih tercium, sehingga mempersuasi konsumen dengan sensory marketing,” kata Untung.
Strategi terakhir adalah jumlah menu yang sangat memengaruhi persepsi konsumen. Menu yang terlalu sedikit membuat konsumen tidak diberi banyak pilihan, low quality, dan resto belum ahli dalam makanan ini.
Jika jumlah menunya terlalu banyak malah membuat konsumen bingung, pengambilan keputusan konsumen menjadi lama, proses pemesanan memakan waktu, dan merugikan restoran dalam utility rate per meja.
“Walaupun orang bisa beli banyak karena menunya banyak, tapi tetap saja paretonya berlaku, yang laku itu-itu lagi. Makanya setiap restoran harus berusaha cari berapa jumlah menu yang pas,” ujar Untung.
Selain itu, biasanya urutan menu juga sangat memengaruhi konsumen. Restoran umumnya akan meletakkan menu appetizer di halaman paling depan, kemudian menu utama, dan dessert serta minuman sebagai penutup. Namun, ada juga restoran yang menampilkan menu paling recommended di depan.
“Mereka yang taruh rekomendasi di depan itu memberikan kesan primacy effect, set positive perception dan mood, ini lho menu-menu andalan kita,” tutur Untung.
BACA JUGA: Belajar Marketing ‘Roasting’ dari Entertainment Company Bernama Karen’s Diner
Jika appetizer di depan, terlihat tidak mengenyangkan tapi harganya umumnya lumayan. Untung menjelaskan strategi ini tujuannya untuk men-decoy, dengan harga Rp 50-RP 70 ribu, konsumen akan memiliki ekspektasi.
Ketika main course selisihnya tidak terlalu jauh dengan appetizer, maka konsumen akan merasa worth it, value for money yang lebih. Untuk menu main course, biasanya restoran akan menampilkan lauk dulu baru sayuran karena orang lebih bersemangat dengan lauk, kecuali vegetarian.
Dari sisi bisnis restoran, pendapatan dari lauk akan jauh lebih tinggi dibanding sayuran, sedangkan dari konsumen value for money lauk yang berupa daging jauh lebih tinggi dibanding membeli sayur.
Untuk bagian belakang, biasanya adalah menu dengan margin yang tinggi dan value for money yang rendah, seperti sayuran, minuman, dan dessert. Maka dari itu, banyak menu di belakang yang menampilkan foto lebih banyak untuk menggoda konsumen agar membeli.
Selanjutnya, dari segi harga yang dapat memengaruhi persepsi konsumen terhadap murah dan mahalnya produk. Studi membuktikan ketika memberikan simbol Rp dengan jumlah 0 tiga di belakangnya, itu akan membuat orang punya persepsi harga lebih mahal, dibanding tidak menggunakan simbol Rp dan angka 0, hanya angka utama saja.
Tak usah khawatir karena orang Indonesia tentu akan tahu bahwa harga yang sebenarnya berapa, sebagai contoh 90 dengan Rp 90.000. Strategi bisnis restoran yang terakhir adalah menampilkan menu rekomendasi yang menjadi teknik untuk mendorong orang membeli sesuatu yang ingin restoran dorong, misalnya makanan unggulan, makanan paling banyak dibeli, makanan yang paling enak, harga margin tinggi, dan lain sebagainya.
“Teknik yang bisa dipakai dengan memberikan foto yang paling menarik dibanding lain, kemudian kasih simbol rekomendasi misalnya dengan tanda jempol atau topi chef, dan atau kertasnya dibedakan, misalnya dibuat lebih tebal,” tutur Untung.
BACA JUGA: Belajar Manajemen Krisis dari KFC: Minta Maaf Saja Tidak Cukup!
Editor: Ranto Rajagukguk