Netizen Indonesia maupun internasional saat ini tengah diramaikan dengan fenomena doom spending pada saat kondisi ekonomi sedang tidak menentu. Istilah doom spending mengacu pada perilaku seseorang yang berbelanja berlebihan atau tidak terkendali sebagai respons terhadap kecemasan, stres, atau ketidakpastian akan masa depan.
Fenomena ini biasa terjadi pada Milenial dan Gen Z yang cenderung masih belum memiliki kestabilan emosi yang baik. Adapun faktor yang memengaruhi terjadinya doom spending karena seseorang terus-menerus membaca berita negatif, tetapi dalam kasus ini, stres atau ketidakpastian mendorong seseorang untuk melakukan pembelian yang tidak perlu.
BACA JUGA: Strategi Keuangan yang Bisa Dipelajari dari Home Sweet Loan
Secara umum karakteristik orang yang terjerat doom spending yaitu memiliki pengeluaran impulsif atau membeli barang-barang yang tidak diperlukan sebagai cara untuk merasa lebih baik dalam jangka pendek. Hal ini dipicu oleh oleh kecemasan, depresi, atau stres akibat situasi global, misalnya pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi.
Kondisi itu diperburuk dengan kurangnya perencana finansial yang matang sehingga melakukan pembelian tanpa pertimbangan jangka panjang. Alhasil, orang yang mengalami doom spending sering kali menyesal atau khawatir tentang pengeluaran mereka setelah membeli barang yang tidak diperlukan.
BACA JUGA: Pertimbangkan 4 Hal Ini di Tengah Maraknya Diskon Makanan dengan Paylater
Adapun penyebab terjadinya fenomena doom spending, yaitu adanya ketidakpastian ekonomi yang menyebabkan masa depan finansial seseorang tidak jelas atau dipenuhi ketidakpastian. Tekanan psikologis juga bisa menyebabkan munculnya perilaku ini karena stres berkepanjangan bisa memicu perilaku kompulsif, seperti berbelanja untuk mencoba merasa lebih baik.
Media sosial secara langsung atau tidak langsung juga mendorong doom spending lantaran setiap hari netizen selalu dibanjiri iklan yang mendorong pembelian tidak perlu. Adapun krisis global, misalnya pandemi COVID-19 mendorong doom spending untuk mengatasi rasa bosan maupun kecemasan.
Menanggapi fenomena itu, Melvin Mumpuni, perencana keuangan sekaligus pendiri PT Solusi Finansialku Indonesia atau Finansialku.com menjelaskan doom spending sebenarnya sama dengan pembelian impulsif yang dipengaruhi juga oleh faktor ketakutan akan ketertinggalan suatu tren atau fear of missing out (FOMO). Dia pun merasa heran dengan adanya fenomena ini lantaran stres yang dialami kalangan muda justru diobati dengan berbelanja.
“Kok aneh orang stres, malah belanja? Belanja dapat menaikkan dopamine (hormon yang bikin senang)?” katanya dilansir dari akun Instagram pribadinya, Selasa (1/10/2024).
Menurutnya, ketika seseorang menganggap belanja bisa menghilangkan stres, lebih baik belanja ke barang-barang yang bisa memberikan nilai tambah baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Misalnya, membeli produk investasi, emas, reksa dana, saha, atau surat berharga negara (SBN).
Selain itu, kata Melvin, alangkah lebih bijak jika belanjanya dibelikan produk yang bisa menambah skill pada kemudian hari. Misalnya, membeli kursus online, buku, ikut seminar, atau jalan-jalan yang bisa menambah wawasan dan relasi.
“Kalau uang nganggur cukup banyak, tidak ada salahnya coba beli waralaba atau sekalian properti,” tuturnya.
Di sisi lain, Melvin memberikan solusi lain menghilangkan stres tanpa harus membuang uang untuk membeli barang yang tidak perlu. Di antaranya dengan mengonsumsi probiotik, makan protein, dan tidur yang cukup.
Tidak hanya itu, melakukan olahraga rutin dan berlatih meditasi juga bisa mengurangi stres yang sering terjadi pada kaum urban ketika terjadi krisis. Hal mudah lainnya yang bisa dilakukan dengan murah, yaitu mendengarkan musik dan terpapar sinar matahari setiap hari bisa meningkatkan kebahagiaan.
“Kita harus menghindari fast diet karena bisa meningkatkan stres dan kecemasan. Bisa diganti dengan mulai melakukan diet sehat,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk