Tren konser musik di Indonesia memasuki tahap baru. Bila pada awal era tahun 2010an, Indonesia sempat kebanjiran artis dan musisi asing yang menggelar konser tunggal di Indonesia, kini intensitasnya mulai menurun. Beberapa promotor artis yang dulu getol mendatangkan musisi asing sudah tidak terlalu gencar dalam menggelar konser tunggal. Saat ini, trennya mendatangkan musisi-musisi asing untuk tampil dalam gelaran festival.
Festival musik di Indonesia memang bukan barang baru. Namun, semenjak tahun 2015-2016 muncul beragam festival-festival musik yang digelar oleh korporasi ataupun organisasi yang lebih kecil skalanya. Musik yang ditampilkan pun lebih beragam. Ingin mendengarkan musik jazz, ada gelaran Java Jazz Festival yang rutin diadakan tiap tahun. Mendengarkan electronic dance music (EDM) bisa mengunjungi Djakarta Warehouse Project (DWP) atau Ultra Bali. Ingin melakukan head banging sembari menikmati aksi musisi metal papan atas, kita bisa berkunjung ke gelaran Hammersonic. Menikmati musik dengan beragam genre, bisa mengunjungi Synchronize Fest atau We The Fest (WTF).
Untuk lokasi pun saat ini sudah cukup melebar, tidak hanya berpusat di Jakarta. Yogyakarta sudah memiliki gelaran festival musik jazz, Ngayogjazz sejak beberapa tahun lalu. Di kaki Gunung Bromo juga ada gelaran Jazz Gunung. Kawasan Kawah Ijen di Banyuwangi juga memiliki gelaran musik jazz sendiri. Ajang festival musik rock terbesar di Indonesia, Soundadrenaline secara konsisten digelar di Pulau Bali.
Lalu, di wilayah Kalimantan juga terdapat Rock in Borneo yang diselenggarakan di Tenggarong, Kutai Kartanegara, acara ini sebelumnya dikenal dengan nama Kukar Rockin Fest. Sulawesi juga memiliki gelaran Rock in Celebes yang diadakan di kota Makassar. Secara garis besar, setiap pulau memiliki festival musiknya masing-masing, baik dalam skala yang besar atau pun yang kecil.
“Bisa dibilang menggelar festival musik lebih menguntungkan ketimbang membawa satu artis untuk konser tunggal. Karena lebih banyak penggemar yang hadir disebabkan banyaknya artis yang ikut tampil,” ujar Kevin Wiyarnanda, Public Relations & Media Relations Ismaya Live.
Ismaya Live merupakan salah satu promotor besar yang selama beberapa tahun terakhir ini getol mengadakan festival musik. Dalam satu tahun, setidaknya ada tiga gelaran festival musik yang diselengarakan oleh Ismaya Live, yakni Djakarta Warehouse Project (DWP), We The Fest (WTF), dan Sunny Side Up Festival. Meskipun memiliki embel-embel festival musik, aktivasi yang dilakukan selama penyelenggaraan festival juga tidak selalu soal musik. Ada festival musik yang menambahkan aktivasi pemutaran film, demo memasak, bazaar fesyen, bazaar records store, gerai makanan, dan aktivitas permainan lainnya. Bahkan ada festival musik yang mengadakan aktivasi membakar api unggun dan hiking di wilayah pegunungan.
“Kami tidak selalu menawarkan musik. Sehingga orang tahu ketika hadir ke festival musik akan ada experience lain yang bisa didapatkan. Penonton bisa merasakan segala macam aktivasi dan penonton juga akan semakin tertarik untuk datang ke festival musik daripada hadir ke konser tunggal,” jelas Kevin.
Sebagai promotor, Ismaya Live menilai ketika membangun sebuah festival musik jauh lebih menantang dari pada membangun konser tunggal. Dalam hal ini, promotor memiliki kebebasan dalam membuat aktivasi, pengaturan panggung, tata cahaya, hingga penentuan musisi yang akan tampil. Kevin menjelaskan, ketika mengadakan konser tunggal harus mengikuti pesanan dan aturan dari musisi tersebut.
Secara keuntungan, ia menilai bahwa mengadakan festival musik bukan jaminan akan langsung untung. Ismaya Live misalnya dalam awal-awal penyelenggaraan juga harus berjuang mati-matian. Seiring dengan konsistensi dan penyelenggaraan festival yang kian rapi, nama-nama festival yang diadakan oleh Ismaya Live juga semakin dikenal. Untuk menggali keuntungan, para penyelenggara musik festival biasanya akan mendapatkan sumber pemasukan dari tiket masuk, penjualan makan dan minuman, hingga suvenir. Ismaya Live sendiri mematok harga tiket masuk yang beragam. Semisal untuk DWP 2017, harga tiket pre-sale mereka patok mulai dari Rp 800.000 hingga Rp 2,5 juta untuk dua hari.
Harga tiket untuk festival musik di Indonesia cukup beragam dan cukup terjangkau. Untuk event Java Jazz Festival, penonton bisa menyaksikannya dengan harga tiket mulai dari Rp 300.000 untuk satu hari, atau paket selama tiga hari dengan harga Rp 750.000. Synchronize Fest mematok harga awal mulai dari Rp 190.000 untuk satu hari, dan Rp 345.000 untuk tiga hari. Festival Soundadrenaline yang diadakan selama dua hari bisa disaksikan dengan harga mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Festival jazz di Gunung Bromo, Jazz Gunung bisa dinikmati mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 1,6 juta.
Adanya festival musik juga bisa menggerakan perputaran uang dan ekonomi di wilayah sekitarnya. Untuk festival seperti DWP dan WTF, rata-rata pengunjung menghabiskan uang sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 dalam satu hari. Untuk festival di luar Jakarta seperti Gunung Bromo juga bisa menghidupkan potensi pariwisata yang ada di wilayah tersebut.
Ketersediaan Panggung Masih Jadi Masalah
Lokasi geografis yang luas, jumlah kelas menengah yang tinggi, serta permintaan akan hiburan yang terus meningkat membuat Indonesia menjadi pasar besar bagi para promotor dan eksibitor. Permasalahannya saat ini Indonesia masih kekurangan lokasi yang memadai untuk pelaksanaan festival atau pameran dalam skala besar.
Di Jakarta hanya beberapa lokasi yang dianggap layak diadakan sebagai tempat berlangsung sebuah festival dan pameran skala besar. Beberapa lokasi tersebut adalah JIExpo, Kemayoran dan Jakarta Convention Center, Senayan. Sebenarnya Indonesia Convention Exhibition di Tangerang menjadi primadona baru untuk penyelenggaraan konser dan pameran. Hanya saja, lokasi sudah tidak masuk wilayah Jakarta. Untuk penyelenggaraan festival skala besar di wilayah Jakarta biasanya diadakan di Ancol, JIExpo, dan Parkir Timur Senayan.
Menurut James Boey selaku General Manager Panorama Exhibitions, Indonesia tidak kalah saing dengan negara tetangga Singapura dalam hal penyelenggaraan event, baik festival musik ataupun pameran. Ia menambahkan pasar eksibisi di Singapura jauh lebih kecil dari Indonesia, mengingat jumlah populasinya yang tak sebanyak negeri ini.
“Pertunjukan atau tradeshow terbesar di Indonesia itu jauh lebih besar dari segi jumlah pengunjung ketimbang pertunjukan terbesar di Singapura,” kata James.
Hanya saja, Singapura memosisikan dirinya sebagai regional market di kawasan ASEAN. Artinya, pemain eksibitor maupun promotor di sana siap untuk menghelat event berskala nasional di sekitar negara kawasan, termasuk Indonesia.
Tantangan terbesar yang dihadapi pemain eksibisi dan promotor adalah dukungan pemerintah. Menurut James, meski pemain aktif menggelar event, itu saja belum cukup menggairahkan industri ini. Sebaliknya, pemerintah perlu membuat regulasi terkait insentif pajak dan perizinan, hingga penyediaan lokasi yang memungkinkan diselenggarakannya event berskala internasional.
Memang, banyak pihak menilai pameran dan festival musik di Indonesia masih dianggap underserved market. Laporan konsultan bisnis AMR International menyebut, ketika pasar global mengalami penurunan jumlah pameran, Indonesia justru mengalami peningkatan.
Sejak tahun 2011, pertumbuhan pameran di negeri ini mencapai double digit mendekati compound annual growth rate (CAGR) 16%. Angka ini belum merujuk pada pertumbuhan festival musik di Indonesia. Percepatan ini sebagian besar didorong oleh meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia, serta perbaikan infrastruktur seperti jalan, hotel, serta perluasan ruang pameran.