Oleh Agung Laksamana,
Ketua BPP Perhumas Indonesia
Dalam sebuah wawancara, Founder Amazon.com Jeff Bezos mendapat pertanyaan tentang tren yang dihadapi dunia bisnis ke depan. Ia menjelaskan, “Saya sangat sering mendapat pertanyaan: What’s going to change in the next 10 years? Pertanyaan ini sangat menarik! Tapi juga sangat umum.”
Salah satu orang terkaya di dunia itu pun mengatakan bahwa dia tidak pernah mendapatkan pertanyaan sebaliknya, what’s not going to change in the next 10 years? Jeff Bezos bilang, pertanyaan kedua ini justru yang lebih penting. Dalam bisnis ritel, Amazon tahu bahwa customer menginginkan harga murah (low prices), pengiriman cepat (fast delivery), dan pilihan yang banyak (they want vast selection).
“Saya tidak bisa membayangkan 10 tahun dari sekarang bahwa seorang customer berkata kepada saya. Jeff, I love Amazon. Saya berharap harganya lebih mahal! Atau Jeff, I love Amazon. Kalau bisa barang diantar lebih lama saja. Little slower! These things are so big and so fundamental,” kata Bezos.
Saya tertarik dengan perspektif itu. Bukan rahasia lagi bahwa Covid-19 menjadi sebuah hal yang tidak bisa dikontrol siapa pun, termasuk praktisi PR. Bahkan banyak perusahaan yang memotong anggaran komunikasi ditambah aturan social distancing sehingga membuat ruang gerak PR menjadi semakin sempit.
Kita setuju bahwa dunia PR akan dan terus berubah. Platform komunikasi kian beragam dan membuat tugas serta beban PR menjadi lintas batas, 365 hari, 7×24 jam. Namun, pernahkah kita mendapatkan pertanyaan, what’s not going to change in the next 10 years in the world of PR?
Ekspektasi konsumen masih sama. Semua korporasi dan brand butuh PR untuk memberikan solusi komunikasi dan creating values terhadap permintaan konsumen ini. Itu adalah peran dan fungsi strategis dari PR itu sendiri. Kita harus bisa memastikan values itu bisa terkomunikasikan ke key stakeholder kita.
Meski dunia terus berubah, fundamental dari PR itu sendiri tetaplah sama yaitu relationships management dan trust! Komunikasi bisa efektif jika praktisi PR memiliki relationship yang baik dan dipercaya oleh lawan bicara. Pertanyaannya, apakah sebagai praktisi PR, Anda memiliki fundamental yang kuat?
Seorang jurnalis senior curhat kepada saya. Di tengah era Work From Home, dia dibombardir dengan press release dari PR di berbagai perusahaan dan agensi. Pasca mengirim email, beberapa di antara PR itu mengontak secara pribadi, menanyakan apakah email rilis mereka sudah diterima, dan apakah bisa dimuat sesegera mungkin. “Masalahnya Bung AL, ada beberapa PR yang maksa banget. Mereka ini PR atau debt collector? Belum lagi, database mereka salah. Nama media gua saja mereka nggak update!”
Kisah antara jurnalis dan PR itu tidak terlepas dari relationship dan trust. Jika kenal saja tidak, bagaimana PR itu bisa dipercaya oleh jurnalis tersebut?
Makanya, saya mengajak praktisi PR untuk melihat kembali fundamental yang dimilikinya. Setidaknya ada empat perspektif yang bisa kita perhatikan, di luar relationship dan trust itu sendiri.
Pertama, network. PR harus melihat seperti apa network dan koneksi dengan key stakeholders yang telah dibangun dan dimiliki saat ini, mulai dari manajemen, pemegang saham, LSM, masyarakat, media, dan lainnya. Apakah PR sudah membangun dan memiliki network dan koneksi positif dengan mereka?
Kedua, significance. Konten, jaringan, nilai, dan pesan yang kita miliki haruslah unik, penting, dan spesial. Semua itu agar pesan yang ingin kita sampaikan memiliki values dan manfaat, tidak saja kepada lawan bicara namun juga target audiens PR.
Ketiga, collaboration. Peran PR adalah membangun hubungan simbiosis mutualisme dengan berkolaborasi. PR tidak bisa berdiri sendiri. PR tidak bisa hanya meminta, melainkan juga harus memberi.
Keempat, creativity. Di tengah kondisi pandemi COVID-19, PR harus lebih dan berani eksploratif dalam kreativitas. Sebab lalu lintas informasi di dunia online saat ini sangat deras sehingga sulit menarik konsentrasi audiens. Konten PR bersaing dengan berita pandemi, politik, ekonomi, hingga hoaks yang menyebar dengan mudah. Di sini, story telling bisa menjadi opsi. Konsumen bersedia menaruh perhatian bahkan membayar lebih demi sebuah cerita yang bagus dan menarik. Stories sell!
Sebelum COVID-19 muncul, ada kekhawatiran pemikiran bahwa Industri 4.0 dengan teknologi AI dan robot akan menggantikan peran PR karena mereka sudah berada di sekitar kita. Ketika pandemi membuat aktivitas PR terbatas, jawabannya tak lain adalah teknologi, mesin dan dunia online. Ke semuanya bisa meringankan tugas harian profesional PR.
Namun, dalam opini saya, AI dan robot tidak bisa menggantikan peran PR sepenuhnya karena adanya technology lacking dalam membangun relationship, empati, sosial dan intuitif. Karakter-karakter itu tidak dapat ditiru dan dilakukan oleh mesin secanggih apapun itu.
Dunia boleh saja berubah. Teknologi semakin canggih, konsentrasi audiens semakin mahal dan beragam. Otomatis tuntutan ekspektasi terhadap praktisi PR pun semakin tinggi.
Jadi, what’s not going to change in the next 10 years bagi PR? Fundamental dari dunia PR itu sendiri, relationship dan trust! Sudahkah Anda memiliki fundamental itu?