Repositioning Ketiga Habibie

profile photo reporter Taufik
Taufik
12 September 2019
marketeers article

You may say I’m a dreamer

I’m not the only one

I hope someday you’ll join us

(John Lennon, Imagine)

Selama lebih dari 40 tahun nonton film di bioskop, tak banyak film yang bisa membuat menangis saat menontonnya, meski dengan penyebab yang berbeda-beda. Menangis saat menonton Dith Pran di The Killing Fields yang gagal ikut pergi evakuasi karena photo paspornya gagal tercetak atau menonton Lintang yang tak bisa melanjutkan sekolah setelah dengan mempersona memenangkan lomba cerdas cermat di film Laskar Pelangi disebabkan hati yang tercabik-cabik atas kemalangan yang terjadi dan tidak terbayangkan sebelumnya. Menangis ketika menonton Freddie Mercury menjelang pentas Live Aid di Wembley di film Bohemian Rhapsody disebabkan melihat kesempatan kedua untuk berbuat baik dan meninggalkan kenangan manis.

Dari sekian menangis di bioskop, ada yang bukan hanya sekedar berbeda penyebabnya, tapi mendorong pandangan yang berbeda dibandingkan sebelum menonton film.  Inilah yan terjadi ketika menangis saat menonton Habibie & Ainun, disebabkan menyadari betapa janji yang muncul saat jatuh cinta bisa ternyata diperjuangan dilaksanakan mati-matian sampai maut memisahkan. Banyak novel atau film tentang janji setia, tapi tidak ada yang seperti janji setia sejak jatuh cinta hingga akhir hayat Habibie ke Ainun, karena membumikan Habibie menjadi manusia biasa.

Itulah yang kemudian melahirkan pertanyaan, apakah perjalanan Habibie dan Indonesia akan menjadi berbeda, kalo citra manusia biasa atau setidaknya orang hebat yang membumi ketika dia meniti karir menuju puncak. Narasi tentang orang hebat yang membumi antara lain pernah dimunculkan oleh Soe Hok Gie, yang meninggal dunia sekitar 50 tahun yang lalu, dalam kolomnya di mingguan Mahasiswa Indonesia lebih dari setahun sebelum meninggalnya. Di kolom dengan judul Mimpi Terakhir Seorang Mahasisswa Tua, yang copy-an artikelnya didapat dari mantan Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo lebih dari 25 tahun yang lalu, Hok Gie mengajak para mahasiswa yang masih menikmati euphoria sebagai angkatan 66 untuk menjadi manusia-manusia biasa.

Tapi menjadi orang hebat yang membumi bukanlah pekerjaan yang gampang bahkan jauh sebelum relawan itu menjadi suatu identitas dengan privilege yang mengikutinya. Hok Gie menggunakan metafor koboi tidak terkenal yang membereskan kekacauan di suatu kota dan kemudian bukan hanya pergi tanpa tanda jasa atau imbalan tapi seperti pahlawan tak dikenal. Itu pula yang kemudian tergambar dengan jelas di bagian akhir remake film The Magnificent Seven yang dibintangi Denzel Wanshington, yang diiringi musik yang terkenal karena menjadi intro Come to where the flavour is…

Dalam konteks film Habibie dan Ainun, citra jenius dan hebat atau malah Uber Alles, itu muncul di adegan yang terkait dengan sejumlah cerita yang dikenal luas seperti kehebatan secara akademik atau penemuan dan aplikasi yang bisa dilakukan. Tapi itu kemudian tenggelam oleh berbagai adegan terakhir film, pada saat Habibie setia menunggu Ainun yang sedang sakit. Adegan-adegan tersebut menjadi bukti bahwa janji ketika jatuh cinta yang muncul di bagian awal film ditepati.

Bagi orang marketing, janji adalah indikator utama untuk mendapatkan kepercayaan. Tentu kalau dibuktikan dan dilakukan berulang-ulang. Baik untuk hal yang kecil dan bersifat pribadi atau hal besar yang melibatkan orang banyak.

Dan ternyata banyak hal dimana Habibie adalah orang yang menepati janji. Paling menonjol adalah janji tidak terlibat dalam politik praktis setelah tidak menjabat Presiden yang ditepatinya. Selain tidak ada upaya kembali ikut dalam perebutan kekuasaan, termasuk untuk keluarga inti, Habibie seperti kata-kata Zainudin MZ ada dimana-mana tapi tidak kemana-mana dalam perkubuan politik.

Inilah yang membuat repositioning pertama yang dilakukan Habibie punya diferensiasi yang solid. Begitu menjadi Presiden, ia pun tidak ragu untuk mengambil putusan yang sulit, termasuk yang menjadi bagian penting hidupnya. Seperti IPTN dan industri strategis lainnya.

Hasilnya? Meski sudah berganti beberapa purnama, perbaikan kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang pernah dilakukannya, dalam rentang yang luas dalam kurun waktu pendek, tidak tertandingi hingga kini. Termasuk angka kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang rendah.

Padahal sebelum menjadi Presiden, dikhawatirkan akan membawa kekacauan dalam perekonomian karena sejumlah proyek yang dipercayakan kepadanya sebelum menjadi Presiden dinilai hanya menghabiskan biaya tapi tidak membawa hasil. Tetuko salah satu nama produk IPTN diplesetkan sebagai sing teko orang tuku sing tuku ora teko (yang datang tidak beli yang (bisa) beli tidak datang. Bahkan ketika bisa menjual pesawat dengan sistem barter juga dicemooh.

Bukan hanya itu saja. Ketika menjadi Presiden dan membebaskan tahanan politik, disebut karena tekanan politik. Tapi tidak ada daya kritis lebih lanjut, apa yang didapatkan dengan membebaskan tahanan politik.

Begitu juga dengan keputusan referendum Timor-Timur, yang hasilnya memicu penolakan pidato pertanggungjawaban di depan MPR di tahun 1999. Ia dianggap “kuping tipis” karena tidak tahan dengan kata-kata aneksasi yang diucapkan orang-orang Barat waktu bicara mengenai Timor-Timur. Padahal Timor-Timur menjadi distraksi untuk menarik dana dari luar masuk ke Indonesia untuk keperluan recovery perekonomian setelah krisis parah 1998.

Dengan kondisi seperti itu, ia ternyata menjelma menjadi politisi atau bahkan Presiden seperti metafor Soe Hok Gie mengenai jagoan koboi yang sebenarnya. Apalagi ia kemudian menyingkir 100% dari hiruk pikuk politik Indonesia dengan tinggal di Jerman. Dan itu dilakukan dengan ikhlas.

Publik baru melirik dia kembali ketika istrinya meninggal dunia. Karena pernah menjadi Ibu Negara tentu ada penghormatan khusus. Tapi yang berbeda adalah apa yang terjadi setelah pemakaman.

Ia merasakan kehilangan yang sangat hebat. Sebagai bentuk terapi, ia pun menuliskan buku tentang dia dan istrinya. Ternyata kemudian menjadi buku dan film yang laris.

Hebat sekali, untuk oraang yang sudah lama lepas dari panggung kekuasaan dan sorot publik dan media. Namun yang lebih hebat adalah repositioning yang secara tidak sengaja dilakukannya. Meski tidak ada yang salah dengan repositioning yang pertama, tapi seolah mengalir begitu saja terjadi repositioning yang kedua yaitu Habibie adalah orang hebat yang membumi. Yang bukan hanya relevan untuk baby boomers atau gen X, tapi juga millenial dan bahkan gen Z.

Itulah sebabnya, ia pun bisa masuk dalam bagian pop culture ke millenial dan gen Z, meski tidak berasal dari seniman, artis atau olahraga. Sebutan eyang, kakek atau yang sejenis pun diterimanya dengan enak. Karena kenyataannya millenial atau gen Z ya memang masuk dalam kategori cucunya.

Habibiei akhirnya tidak kuasa menolak takdir untuk mengalami repositioning yang ketiga, Presiden untuk semua golongan, di era polarisasi ada dimana-mana dalam berbagai bentuk. Apapun grup wa atau perkubuan politik, muncul pengakuan atas apa yang dulu diperjuangkan dan mendapatkan cemoohan di suatu masa mengenai SDM unggul dan negara maju yang bisa menghasilkan sendiri produk-produk berteknologi tinggi. Artinya, kata-kata John Lennon di bait terakhir Imagine seperti bergema kembali dengan repositioning ketiga Habibie.

Daftar panjang yang diperjuangkanya pun kini muncul kembali. Perlunya Indonesia punya industri pesawat sendiri, di saat akhir minggu ini akan ada #HarHubNas55 dan menjelang 100 tahun pendidikan sains dan technology yang kurang lebih sama dengan 100 tahun ITB, menjadi relevan kerena negara kepulauan terbesar di dunia masih punya persoalan konektivitas. Itu bukan hanya persoalan Papua atau bahkan Sumatera tapi bahkan Jawa bagian Selatan. Tentu bukan hanya pesawat tapi berbagai teknologi tepat guna untuk Indonesia.

Terus terang tidak mudah. Bertahun-tahun misalnya, mahasiswa Tahun Pertama Bersama di ITB akan punya analisa yang sama ketika praktikum fisika atau kimia, soal peralatan laboratorium. Ketika ada diantara mereka menjadi profesor yang punya banyak paten pun ternyata keterbatasan dalam laboratorium itu seperti masalah klasik.

Memang seperti yang disampaikan profesor fisika ITB Mikrajuddin ketika tahun lalu pidato menerima Habibie Award menyampaikan bahwa dengan kondisi Indonesia sekarang, ya harus kreatif memanfaatkan keterbatasan laboratorium. Ia sudah membuktikan bahkan banyak penelitian atau bahkan paten yang berhasil diseleseikan dengan keterbatasan laboratorium. Kebetulan sejak awal kuliah, Mikrajuddin sudah terbiasa menyeleseikan persoalan dalam keterbatasan, mulai dari memasak dengan panas matahari hingga menghitung hitungan yang susah tanpa kalkulator.

Habibie pun dulu waktu merintis industri pesawat terbang dan industri strategis lainnya jelas berada dalam situasi serba terbatas. Mulai dari tim pendukung, laboratorium hingga promosi dan saluran penjualan produk. Tapi the show must go on alias terus berusaha agar anak bangsa percaya bahwa bangsa ini akan maju dengan karya anak bangsa sendiri, seperti kini telah terjadi pada Tiongkok.

*Penulis adalah Deputy Chairman, MarkPlus, Inc.

    Related