Pasca-Sumpah Pemuda tahun 1928, Timnas Indonesia yang belum merdeka dan dikenal sebagai Hindia Belanda pernah tampil di Piala Dunia 1938. Saat itu kita menjadi salah satu dari tiga negara di luar Eropa yang tampil di Piala Dunia bersama dengan Brazil dan Kuba. Hindia Belanda bisa lolos ke Piala Dunia karena Jepang yang menjadi lawannya mengundurkan diri.
Sayangnya, dalam pertandingan Piala Dunia tahun 1938 tidak ada pertandingan yang dimenangkan oleh kesebelasan Hindia Belanda.
Padahal saat itu, mayoritas pemainnya pemain etnis Belanda dan ditambah pemain etnis Tionghoa dan etnis lain yang ada di Hindia Belanda saat itu. Mereka bahkan melakukan persiapan di Belanda.
Ketika mulai merdeka pada tahun 1945 hingga tahun 2022, Indonesia belum pernah bisa tampil di pertandingan Piala Dunia. Padahal ada kesempatan untuk tampil pada tahun 1958, ketika Piala Dunia diselenggarakan di Swedia dan menjadi saksi kemunculan Pele di panggung dunia.
Menjelang Piala Dunia, Presiden Soekano memutuskan agar Indonesia mundur di tahap kualifikasi akhir menghadapai Israel sebagai bentuk solidaritas kepada negara-negara Arab.
Tapi tidak berarti tidak ada prestasi di kancah internasional. Tahun 1956, kesebelasan Indonesia yang diperkuat pemain dari berbagai etnis yang ada di Indonesia, termasuk etnis Tionghoa bisa tampil dengan prestasi yang bagus. Salah satunya adalah bisa menahan imbang kesebalasan Uni Sovyet dalam pertandingan pertama yang diperkuat pemain top mereka.
Karena saat itu belum berlaku adu penalti, maka pertandingan diulang, dimana kesebelasan Indonesia kalah telak 4–0.
Selain pemain Uni Sovyet memang lebih berbakat dibandingkan pemain Indonesia, juga punya postur tubuh yang lebih bagus. Ditambah punya pengalaman berlaga di Eropa yang kompetitif, membuat kesebelasan Uni Sovyet bagaimanapun juga lebih kompeten dibandingkan kesebelasan dari Asia, termasuk Indonesia.
Tentu penampilan Indonesia di tingkat internasional bukan hanya di tingkat Piala Dunia atau Olimpiade, tapi juga di tingkat Asia. Tahun 1950, pada saat diselenggarakan Asian Games yang pertama di New Delhi, kesebelasan Indonesia juga tampil, meski langsung kalah dari tuan rumah India.
Tapi empat tahun kemudian, Timnas Indonesia lolos di semifinal Asian Games 1954 yang saat itu diselenggarakan di Manila tapi gagal meraih medali perunggu setelah kalah dalam pertandingan semifinal dari Taiwan dan Burma.
BACA JUGA: Performa Kian Moncer, Extra Joss Sponsori Timnas Indonesia selama Dua Tahun
Tahun 1958, saat diselenggarakan Asian Games di Tokyo, kesebelasan Indonesia kembali tampil dan berhasil masuk ke semifinal. Ada perbaikan prestasi karena akhirnya Indonesia bisa meraih medali perunggu. Ini merupakan medali pertama yang diraih kesebelasan Indonesia.
Apa yang menarik dari perjalanan timnas sepakbola di tahun 1950-an itu? Meski masih merupakan negara muda, Indonesia ingin meraih prestasi internasional.
Selain menghimpun bakat terbaik dari berbagai etnis yang ada di Indonesia, Timnas Indonesia saat itu merekrut pelatih internasional Tony Pogacnik asal Yugoslavia yang membantu pengembangan sepakbola berbasis science dan bukan hanya mengandalkan bakat pemain.
Dengan pencapaian itu, meski mengandalkan pemain berbakat tanpa kompetisi domestik yang bagus, ternyata Indonesia bisa menjadi salah satu negara kuat di Asia.
Kondisi negara yang baru merdeka dan minim sumber daya ternyata bukan menjadi halangan. Termasuk keputusan yang diambil untuk merekrut pelatih bagus dari Eropa seperti Tony Pogacnik.
Mestinya Indonesia bisa memetik hasil saat menjadi tuan rumah Asia Games ke empat di tahun 1962 di Jakarta. Selain para pemain sudah lebih matang dari segi pengalaman, tentu faktor sebagai tuan rumah bisa menjadi keuntungan tersendiri. Sayangnya, ada skandal suap yang akhirnya membuat Indonesia kalah dari Malaysia.
BACA JUGA: Dukung Olahraga, Bank Mandiri Resmi Jadi Presenting Partner Timnas RI
Sebetulnya pada tahun 1963, Indonesia yang memutuskan keluar dari Organization of International Olympics (OIC) dan menyelengggarakan Games of New Emerging Forces (Ganefo) bisa punya prestasi bagus.
Dalam pertandingan olahraga internasional yang diikuti negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, Indonesia menjadi juara ketiga. Saat itu, yang menjadi juara adalah Republik Persatuan Arab, nama Mesir pada saat itu.
Pencapaian tahun 1950-an dan 1963 tidak berlanjut di akhir tahun 1960-an. Pergolakan politik di tahun 1965 hingga akhir 1960-an ternyata membuat kesebelasan Indonesia tidak mengikuti Asian Games tahun 1966 dan 1970. Padahal Indonesia pada tahun 1968 bisa menjadi juara Piala Raja di Bangkok, yang secara gengsi tentu masih kalah dibandingkan Asian Games.
Di Asian Games 1974, 1978, dan 1982, kesebelasan Indonesia tidak tampil. Padahal pada tahun 1976 Indonesia sebetulnya sampai pada kualifikasi akhir Olimpiade. Sayangnya dalam pertandingan yang diselenggarakan di Jakarta, Indonesia kalah dari Korea Utara.
Tahun 1986, pada saat Asian Games diselenggarakan di Seoul, Indonesia bisa lolos sampai semifinal. Sayangnya dalam perebutan ketiga gagal meraih medali perunggu. Tapi inilah akhir dari suatu periode dimana Indonesia masuk papan atas Asia.
Setelah itu, Indonesia turun kelas ke tingkat Asia Tenggara. Ternyata meski turun kelas, jarang menjadi juara. Sebuah situasi yang terus terang tidak menyenangkan.
Padahal Indonesia bukannya tidak kekurangan pemain berbakat. Tapi ternyata negara Asia Tenggara lainnya bisa lebih unggul dibandingkan Indonesia. Ini bukan hanya Thailand dan Malaysia, tapi juga Singapura dan Vietnam.
Mungkin karena merasa kehabisan akal, sejumlah pemain asing yang tampil di kompetisi liga di Indonesia ditawari menjadi warganegara Indonesia. Ada sejumlah pemain yang bersedia. Hanya saja, karena berada di kompetisi yang kurang bagus, maka gelombang pertama pemain asing yang dinaturalisasi belum membuahkan hasil.
Situasi menjadi berbeda ketika dalam dua tahun terakhir, ada pendekatan baru naturalisasi pemain. Keterlibatan dalam kompetisi yang lebih bagus di Indonesia, seperti di Eropa atau bahkan Amerika Serikat menjadi bahan pertimbangan penting. Jadi tidak asal merekrut, tapi juga yang ikut dalam kompetisi di Eropa, sekalipun belum pada tingkat yang tertinggi.
Ternyata ini mulai membuahkan hasil. Pemain naturalisasi generasi baru ternyata bisa bermain dengan standar kompetisi Eropa. Termasuk bisa mampu mempertahankan kinerja tinggi dalam tempo waktu 90 menit alias beda dengan periode sebelumnya yang hanya bagua maksimal dalam waktu 60 menit.
Inilah salah satu bentuk repositioning kesebelasan Indonesia. Memang belum bisa kembali ke papan atas Asia seperti era tahun 1960-an hingga 1980-an. Soalnya kini banyak negara Asia yang punya kemampuan setara negara-negara Eropa.