Resep Membangun Cult Brand, Lebih dari Sekadar Top of Mind!

Dalam dunia pemasaran, membangun brand bukan hanya soal logo menarik atau punya tagline yang catchy, tetapi bagaimana brand tersebut mampu berkomunikasi dengan pelanggan, hingga akhirnya menjadi top of mind dan menciptakan kepercayaan yang kuat.
Namun, ada satu tahap lagi yang lebih tinggi dan sekadar dipercaya, yakni saat brand menjadi bagian dari identitas pribadi konsumennya. Di sinilah konsep cult brand mengambil peran.
Apa itu cult brand?
Ignatius Untung, Behavioral Marketing Practitioner, menjelaskan bahwa cult brand adalah merek yang memiliki posisi yang unik di hati konsumen. Mereka tidak hanya dibeli karena dibutuhkan, melainkan karena ada ikatan emosional yang dalam.
“Konsumen bisa sangat loyal, bahkan fanatik. Mereka rela menoleransi kekurangan, dan justru menjadikan itu bagian dari daya tariknya,” ujar Ignatius Untung dalam program Market Think “Begini Cara Brand Bisa Sampai Di Level Cult” MarketeersTV.
BACA JUGA: Tips Memulihkan Reputasi usai Terdampak Cancel Culture
Menurut Untung, cult brand tidak lagi menjual produk, melainkan identitas. Mereka hadir sebagai simbol gaya hidup, nilai, bahkan komunitas. Lalu, apa yang membuat sebuah brand bisa sampai ke level ini?
Berdasarkan pengalaman Untung saat mengunjungi museum BMW, Mercedes-Benz, dan Porsche di Jerman, ada beberapa elemen kunci yang bisa jadi inspirasi, diantaranya sebagai berikut:
Cerita yang Autentik dan Relevan
Setiap brand besar punya narasi yang kuat. Bukan hanya soal keberhasilan, namun juga jatuh bangun yang membentuk karakter merek itu sendiri.
“Museum dari tiga merek otomotif tersebut tidak hanya menampilkan mobil, tetapi juga perjalanan panjang penuh emosi dan sejarah yang membuat pengunjung merasa terhubung secara personal,” jelasnya.
Pengalaman yang Menggugah Indra dan Emosi
Semakin banyak indra yang dilibatkan, semakin kuat kesan yang tertinggal.
Mulai dari desain ruangan yang futuristik, audio storytelling otomatis, sampai pengalaman interaktif—semuanya dirancang untuk menciptakan momen yang sulit dilupakan.
Loyalitas Emosional, Bukan Sekadar Rasional
Pada level ini, brand tidak hanya memiliki konsumen, tetapi pengikut. Bahkan, yang belum mampu membeli produknya tetapi bermimpi suatu hari bisa memilikinya.
“Di sinilah potensi jangka panjang dibangun, lewat yang disebut sebagai planting potential demand,” tambah Untung.
Social Currency dan Elemen Eksklusif
Menurut Untung, orang suka membagikan hal yang membuat mereka merasa spesial.
Museum-museum tadi tidak hanya memamerkan mobil, tapi juga menyuguhkan pengalaman yang instagrammable dan terasa “berkelas”.
Bukan cuma produknya yang diingat, namun juga sensasi menjadi bagian dari dunia mereka.
BACA JUGA: Fenonema Cult-like Followers dalam Industri Kecantikan
Meski belum semua brand bisa sampai ke titik ini, bukan berarti hal tersebut mustahil. Merek-merek lokal seperti Indomie, Kopi Kapal Api, Batik Keris, atau Bluebird, sejatinya punya semua komponen dasar untuk menjadi cult brand.
“Merek-merek ini punya cerita panjang, nilai budaya yang kuat, dan potensi membangun social currency yang besar. Bayangkan jika ada Museum Indomie, tempat pengunjung bisa mencicipi varian rasa eksperimental atau melihat langsung proses kreatif di balik produk yang sudah jadi bagian hidup banyak orang,” jelas Untung.
Pada intinya, menjadi cult brand bukan tentang viral sesaat atau kampanye besar-besaran.
Ini soal konsistensi dalam membangun hubungan emosional. Bukan hanya bicara soal fitur atau harga, tetapi tentang bagaimana brand hadir, tumbuh, dan menyentuh kehidupan konsumen.
“Sama seperti menjalin hubungan, prosesnya butuh waktu, ketulusan, dan relevansi. Ketika brand mampu menjadi bagian dari cerita hidup konsumennya, maka ia tidak hanya akan diingat—tapi akan dikenang,” tutur Untung.
Editor: Eric Iskandarsjah Z