Resmi Angkat Kaki, Uber Nasibmu Kini

marketeers article

Setelah operasional bisnisnya diakusisi oleh Grab, pada 8 April lalu, Uber resmi meninggalkan pasar Indonesia. Semenjak tanggal tersebut, aplikasi Uber sudah tidak bisa lagi digunakan di Asia Tenggara.

Selama beberapa minggu setelah pengumuman akuisisi oleh Grab, Uber memang memberikan pemberitahuan kepada para penggunanya bahwa seluruh operasional bisnis akan dialihkan dalam layanan Grab. Pengguna juga dianjurkan untuk mengunduh aplikasi Grab. Beberapa mitra pengemudi dari Uber pun sudah mulai berpindah ke rumah baru mereka, yakni Grab.

Uber merupakan salah satu studi kasus global dalam dunia startup. Semenjak didirikan pada tahun 2009 di San Fransisco, Amerika Serikat. Nama Uber terus disebut-sebut sebagai contoh sukses dalam bisnis startup yang berhasil membuat guncangan dalam beragam industri transportasi di seluruh dunia. Bisa dibilang, kehadiran dan suksesnya Uber menjadi inspirasi dari beragam startup sejenis, khususnya yang bergerak di bidang transportasi.

Startup yang tadinya terinsipirasi oleh kesuksesan dari Uber, kini perlahan-lahan mulai menghentikan laju Uber di wilayah mereka beroperasi. Akuisisi bisnis Uber di Asia Tenggara, bukanlah kasus pertama yang terjadi.

Di China misalnya, Uber pertama kali hadir di pasar China pada tahun 2013. Saat itu, sudah ada layanan serupa seperti Uber yang dimiliki oleh Didi. Awalnya, Uber terlihat cukup menjanjikan dengan memasuki pasar China, terlebih China memiliki pangsa pasar yang luas. Uber pun cukup percaya diri bahwa mereka akan menguasai pasar tersebut.

Pada Juni 2016, Liu Zhen selaku SVP of Strategy Uber China kala itu memperkirakan pada tahun 2017, Uber sudah mampu melampaui Didi Chuxing, yang merupakan pemimpin pasar. Pada tahun 2015, Uber juga harus seorang diri menghadapi gempuran dari aliansi layanan sejenis yang diinisiasi oleh Didi Chixing, Ola, Lyft, dan Grab.

Pada Agustus 2016, Uber resmi menancapkan bendera putih di China. Uber menyerahkan seluruh operasional bisnisnya di China pada Didi Chuxing. Tidak lama setelahnya, pada Oktober 2016, mantan CEO Uber Travis Kalanick menceritakan betapa sulitnya menguasai pasar China.

“Berbisnis di China Anda harus sangat sederhana, dan berpikir selayaknya menjadi orang China,” ujar Travis kala itu. Travis juga menjelaskan bahwa melancarkan bisnis di China tergolong sulit dikarenakan pemerintah setempat secara aktif terlibat dalam bisnis.

“Ketika berbisnis di China Anda harus memikir ulang semuanya. Harus benar-benar mulai dari awal. Kalau berpikir bahwa Anda tahu seperti apa cara yang terbaik, siap-siap saja bisnis Anda gagal,” imbuh Travis.

Tidak hanya di China, di kampung halamannya pun Uber mendapatkan gesekan dari kompetitornya, yakni Lyft. Semenjak masa pemerintahan Presiden Donald Trump, Uber juga turut kena getahnya. Hashtag #DeleteUber merebak ketika regulasi Immigration Ban oleh Presiden Trump mulai diimplementasikan.

Kemarahan publik AS diawali dari pernyataan mantan CEO Uber Travis Kalanick bahwa yang dilakukan Trump lewat immigration ban tidak akan terlalu mempengaruhi publik termasuk pengemudi Uber sendiri. Apalagi Kalanick termasuk dalam tim penasihat yang dibentuk Trump untuk sektor bisnis beberapa waktu lalu.

Publik langsung melihat bahwa Kalanick dan Uber-nya memang benar-benar pendukung Trump beserta kebijakan-kebijakannya yang dianggap kontroversial. Kasus kedua adalah kejadian di bandara JFK di New York. Sebagai salah satu pintu masuk ke wilayah AS, masyarakat melampiaskan kekesalan kepada Trump dengan demo di depan bandara.

Untuk menunjukkan sikap solidaritas, komunitas taksi di sekitar bandara memutuskan untuk tidak beroperasi sementara demi mendukung masyarakat antikebijakan Trump. Sayang sekali, di saat hampir bersamaan Uber malah mengumumkan penurunan tarif untuk tujuan bandara JFK.

Sontak publik langsung menganggap Uber sebagai salah satu sumber kekacauan dan menilai mengambil benefit di saat tidak tepat. Sejak itu, layanan Lyft mulai menjadi alternatif masyarakat Amerika Serikat yang sudah menghapus aplikasi Uber.

Di India, jalan Uber juga tidak mulus-mulus amat. Bahkan, bukan tidak mungkin nasib Uber di India akan seperti nasibnya di Asia Tenggara dan China. Di India Uber harus menghadapi layanan dari Ola semenjak tahun 2013.

Baik Ola dan Uber harus bersaing dari sisi harga dan insentif kepada mitra pengemudi. Keduanya juga sama-sama mengeluarkan dana yang besar untuk operasionalnya. Semenjak akuisisi dari Grab, beberapa media menyebutkan bahwa Uber juga akan siap-siap memberikan operasional bisnisnya kepada Ola.

Kasus leburan bisnis Uber juga terjadi di Rusia. Uber melebur dengan layanan lokal bernama Yandex. Selain di Rusia, Uber juga menghadapi beberapa kompetitor yang kuat lainnya semisal, 99 Taxis di Brasil, BlaBlaCar di Eropa, dan Careem di Timur Tengah.

Selain masalah kompetisisi di beberapa negara, internal Uber pun mengalami gejolak. Beberapa kasus penolakan, pelecehan seksual, hingga beberapa isu internal lainnya akhirnya membuat Travis Kalanick mengundurkan diri sebagai CEO pada Juni 2017. Posisinya tersebut saat ini diisi oleh Dara Khosrowshasi.

Namun dengan angkat kakinya Uber dari beberapa negara tersebut bisa disebut sebagai kekalahan?

Dari proses akuisisi tersebut, Uber mendapatkan dana segar yang bisa digunakan untuk menutupi kerugian mereka selama ini. Bahkan, Uber juga mendapatkan jatah saham di perusahaan yang mengakuisisi bisnis Uber. Contoh, akuisisi Uber oleh Grab misalnya membuat Uber memiliki 27.5% saham di Grab dan Dara Khosrowshahi selaku CEO Uber akan bergabung dengan dewan direksi Grab.

Sepertinya Uber tidak benar-benar “kalah” juga dalam hal ini. Memang Uber telah terlalu jauh dalam mengambil strategi dengan memasuki pasar-pasar yang luas yang telah diisi oleh kompetitor yang memiliki kekuatan lokal. Di satu sisi, Uber juga saat ini sedang berencana untuk melakukan IPO. Tentu saja, bila Uber masih berdarah-darah di beberapa pasar akan membuat proses IPO mereka semakin tertunda.

Jadi, mungkin lebih baik Uber fokus di beberapa pasar yang memang sudah menjadi spesialisasi mereka, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Bagaimana pendapat Anda?

Editor: Sigit Kurniawan

Related