Gagasan Revolusi Mental adalah sekelumit harapan yang telah masuk di telinga para pendukung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat kampanye. Dua kata ini menjadi sebuah frasa unik yang menimbulkan rasa penasaran besar. Masyarakat tidak sabar menunggu seperti apa implementasi dari revolusi ala Jokowi ini. Publik kuatir gagasan Revolusi Mental yang baik akhirnya mental karena tidak tepat dalam eksekusinya.
Sebuah kelompok kerja (Pokja) dibentuk untuk menggodok konsep Revolusi Mental. Alfindra Primaldhi, salah satu anggota kelompok kerja (Pokja) Revolusi Mental mengungkapkan alasannya bersedia saat ditawari menjadi bagian dari Pokja ini. “Saya percaya dengan Pak Jokowi. Sepertinya orang ini bisa dan mau melakukan perubahan,” ungkap Alfin.
Revolusi mental, kata Alfin, bukan pada tingkat individu. Ini mengubah mentalitas bangsa. Menurutnya, tidak bisa mengubah orang satu persatu. Hal ini dikarenakan orang hidup dalam masyarakat. Seseorang akan berinteraksi dengan orang lain. Bila kebetulan bertemu dengan orang-orang sepaham, orang tersebut akan bertahan. Kalau lebih banyak orang yang tidak sepaham dengan orang itu, maka apa yang sudah dipelajari dan ingin dilakukan tidak bisa dimunculkan. Oleh karena itu, pendekatan Revolusi Mental itu harus holistik dan sistematis. Ini dilakukan serempak, mulai dari segi kultur, struktur, dan proses.
Setiap gagasan besar pasti memiliki hambatan dalam mengimplementasikannya. Alfin berpendapat, hambatan terbesar Revolusi Mental adalah ketergesa-gesaan. Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menilai, semua orang menginginkan Revolusi Mental cepat terlaksana. “Yang terpenting, setiap langkah yang dilakukan haruslah konsisten. Langkah itu tidak boleh mundur kembali,” kata Alfin.
Lantas, kapan saat yang tepat memulai gagasan Revolusi Mental? Bagaimana time frame pelaksanaannya? Temukan jawabannya di Majalah Marketeers edisi Februari 2015 bertajuk “Revolusi Mental : Making Indonesia WOW!”