Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 5,48 miliar atau setara dengan Rp 84,3 triliun (kurs Rp 15.395 per US$). Dengan capaian tersebut, pemerintah mampu mempertahankan surplus selama 34 bulan berturut-turut.
Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dimulai sejak Mei 2020 atau tepatnya ketika dua bulan pandemi COVID-19 masuk pertama kalinya di Tanah Air. Meskipun kondisi perekonomian nasional dan global memburuk akibat wabah, neraca perdagangan tetap kokoh menopang pendapatan negara. Pada saat COVID-19 makin jinak, diharapkan tren positif ini terus berlanjut hingga akhir tahun.
BACA JUGA: Turun 4,15%, Ekspor Februari 2023 Senilai US$ 21,40 Miliar
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan secara umum nilai ekspor pada Februari 2023 mencapai US$ 21,40 miliar, sedangkan impornya tercatat sebesar US$ 15,92 miliar. Jika dilihat dari neraca perdagangan komoditas minyak dan gas bumi (migas) serta nonmigas, terjadi defisit sebesar US$ 1,22 miliar untuk komoditas minyak mentah dan hasil minyak.
Sementara itu, nonmigas berhasil mencatatkan surplus sebesar US$ 6,70 miliar. Habibullah, Deputi Bidang Statistik Produksi BPS menjelaskan komoditas utama penyumbang surplus utama adalah bahan bakar mineral dengan kode HS 27, lemak dan minyak hewan dengan kode HS 15, serta besi dan baja dengan kode HS 72. Untuk negara penyumbang surplus neraca perdagangan yakni Amerika Serikat (AS), India, dan China.
“Pada Februari 2023, neraca perdagangan melanjutkan tren surplus selama 34 bulan berturut-turut. Surplus neraca perdagangan terjadi di tengah penurunan impor yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan ekspor,” kata Habibullah dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
BACA JUGA: Impor Turun 13,68%, Neraca Perdagangan Surplus US$ 5,48 miliar
Secara terperinci, AS menjadi negara dengan penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar yaitu senilai US$ 1.328,4 juta. Tercatat, ekspor ke negara itu mencapai US$ 1.912 juta dengan impornya sebanyak US$ 583,6 juta.
Dari sisi komoditasnya, surplus disumbangkan oleh mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya dengan kode HS 85 sebesar US$ 396,4 juta. Kemudian, diikuti oleh pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan) dengan kode HS 62 sebesar US$ 183 juta.
Komoditas terakhir adalah pakaian dan aksesorinya (rajutan) dengan kode HS 61 sebesar US$ 165,3 juta. Sementara itu di India, surplus terjadi sebesar US$ 1.081 juta dengan penyumbang terbesar adalah komoditas bahan bakar mineral dengan kode HS 27 sebanyak US$ 730,2 juta.
Kemudian, diikuti oleh komoditas lemak dan minyak hewani dengan kode HS$ 15 sebesar US$ 249,3 juta, serta bijih logam, terak, dan abu dengan kode HS 26 sebesar US$ 119,4 juta. Sementara itu, di China terjadi surplus sebanyak US$ 999,8 juta yang disumbangkan oleh komoditas besi dan baja dengan kode HS 72 sebesar US$ 1.179,2 juta.
Lalu, diikuti oleh bahan bakar mineral dengan kode HS 27, serta lemak dan minyak hewani dengan kode HS 15. Masing-masing komoditas sebesar US$ 1.124,9 juta dan US$ 594,6 juta.
Editor: Ranto Rajagukguk