Kondisi pandemi yang kian mereda membuat aktivitas masyarakat mulai kembali ke keadaan normal. Beberapa industri dan perusahaan sudah mulai mengkaji ulang pemberlakuan regulasi kerja dari rumah (WFH) atau kerja hybrid, bahkan banyak yang mulai meminta pekerjanya untuk kembali bekerja di kantor. Namun ternyata, banyak pekerja -termasuk pekerja milenial- yang mengalami perubahan perilaku dan disrupsi kerja di masa pascapandemi ini.
Melansir dari artikel Forbes, CEO IWG Plc Mark Dixon mengungkapkan gambaran preferensi dan pandangan pekerja dari tiap generasi mengenai working style di masa pascapandemi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IWG Plc, 53% pekerja milenial memilih untuk mengundurkan diri jika perusahaanya akan memberlakukan konsep kerja dari kantor (WFO). Hal serupa juga dirasakan oleh pekerja generasi Z. Sebanyak 40% pekerja gen Z memilih bekerja secara hybrid. Pekerja baby boomer merasakan hal yang sama pada tingkat yang lebih rendah yakni sebanyak 33%.
“Banyak pekerja dari Gen z dan milenial lebih memilih untuk bekerja secara hybrid atau remote. Hal Ini mungkin terjadi karena para pekerja muda relatif baru terjun ke dunia kerja dan tidak memiliki banyak pengalaman untuk membandingkan dan membedakan tiap gaya kerja,” papar Dixon mengutip dari pernyataanya dalam artikel Forbes.
Di Indonesia, mengutip dari riset Microsoft Corp tentang Work Tren Index, sebanyak 66% pekerja di Indonesia lebih mempertimbangkan untuk beralih ke konsep kerja remote atau hybrid. Padahal, 60% perusahaan di Indonesia berencana untuk kembali ke konsep kerja dari kantor atau WFO secara penuh pada tahun depan.
Pandangan pekerja dari tiap generasi nampaknya harus menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam menetapkan regulasi konsep kerja tahun depan. Penerapan konsep kerja hybrid memberikan dampak yang berbeda-beda bagi tiap generasi.
Namun secara keseluruhan, bekerja secara hybrid telah membawa manfaat yang cukup signifikan. Sebanyak 62% pekerja merasa bahwa konsep kerja hybrid meningkatkan taraf work-life balance mereka. Sekitar 45% pekerja juga merasa lebih produktiv jika bekerja secara hybrid.
Dixon mengatakan, bekerja secara hybrid memberikan manfaat pada tiap generasi seperti kemudahan mengatur waktu, taraf wellbeing dan work-life balance yang meningkat hingga lebih sedikit waktu, uang dan tenaga yang dihabiskan untuk bepergian. Namun, terlepas dari manfaat yang diberikan, para pekerja dari tiap generasi harus menyesuaikan working style dengan kebutuhannya masing-masing.
“Studi ini menyoroti bahwa ada perbedaan dari tiap generasi, satu pengukuran tidak sama untuk semua. Ada banyak pengalaman yang berbeda dari tiap konsep kerja, dan hal tersebut seharusnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan karyawan yang berbeda-beda tergantung pada posisi karier dan kondisi kehidupan pribadi mereka,” pungkas Dixon.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz