Rumus untuk BUMN: Be Crazy, But Not Stupid

marketeers article

Dinamika perubahan dunia kian cepat dan menciptakan disruption yang kini lebih dikenal dengan istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity). Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana Prasarana Perhubungan-Kementerian BUMN Ahmad Bambang mengatakan, ada dua senjata utama BUMN untuk memenangkan kompetisi di dunia VUCA, yakni inovasi dan kegilaan yang cerdas.

Dunia VUCA dikatakan Ahmad tengah melahirkan disruption di setiap lini bisnis. Selain perubahan perilaku konsumen baru, BUMN juga dihadapkan dengan kesulitan memprediksi kompetitor. Dalam kondisi ini, Change, Customer, Competitor, Company, Connect (5C) dikatakan Ahmad menjadi radar pertama dalam berkompetisi di kondisi ini.

“Dengan konsep 5C yang saya sebut dengan istilah D’Radar, kita dapat mengetahui seperti apa customer kita, bagaimana perubahan yang terjadi terhadap mereka, seperti apa teknologi saat ini bekerja, dan memahami bagaimana menghadapi kompetitor,” jelas Ahmad dalam Forum BUMN Marketeers Club ke-53 di Jakarta, Rabu (15/11/2017). Setelah menggunakan 5C sebagai radar, BUMN pada akhirnya dapat menyusun strategi yang kreatif dan inovatif.

Tak berhenti sampai di tahap D’Radar 5C, Ahmad mengatakan BUMN kemudian harus berani bertindak gila. “Be crazy, but not stupid,” kata Ahmad. Di dalam buku D’Gil Marketing yang ia tulis, D’Craziness diurai menjadi 4P yang terdiri dari diferensiasi produk (Product),  harga yang kompetitif dan sesuai (Price), distribusi (Place), dan promosi yang efisien dengan biaya promosi yang rendah namun memperoleh banyak keuntungan (Price).

Tahap ketiga yang tak kalah penting disebut Ahmad dengan istilah D’Gil Marketing. “Think like there is no box. BUMN harus berani berpikir liar dan tanpa batas alias gila untuk dapat membangun inovasi culture di perusahaan,” ungkap Bambang.

Ada beberapa hal yang dirangkum Ahmad dalam upaya berpikir gila. Pertama, BUMN dikatakan Ahmad harus memperhatikan aspek Combining dengan mencari bisnis proses yang dapat menambah value perusahaan tanpa pengeluaran dana tambahan.

“Yang kedua adalah Reducing dengan menggabungkan segala sesuatu yang bisa digabung. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan fitur apa yang dapat dihilangkan, proses apa yang dapat dilewati, dan peran apa yang bisa digantikan. Pada akhirnya, semua ini akan berujung pada penghematan,” jelas Ahmad.

Setelah Reducing, Ahmad menambahkan Adventuring sebagai salah satu teknik yang dapat diasah. “Proses ini meliputi bagaimana perusahaan BUMN dapat terus menemukan industri sebagai bahan pembelajaran, institusi apa yang dapat memberikan inspirasi, dan siapa pakar yang dapat menjadi tempat mereka menggali informasi,” kata Ahmad.

Dua poin terakhir terdiri dari Zooming dan Yoyo-ing. Ahmad menjelaskan, teknik Zooming berarti mendefinisikan ulang bisnis secara lebih luas. Di sini, perusahaan harus dapat mendefinisikan ulang produk apa yang ditawarkan, termasuk mendefiniskan ulang siapa pelanggan dan pesaing mereka. Sementara Yoyo-ing berarti melihat dari atas dan bawah terkait apa yang dapat membuat bisnis sustain.

Key Performance Indicator (KPI) yang bagus bukan sekadar dilihat dari bottom line atau pun profit, melainkan bagaimana sebuah perusahaan dapat melihat dari berbagai perspektif, baik dari sisi pelanggan atau pun kompetitor,” ungkap Ahmad. “BUMN  juga harus mampu bersinergi dan berkolaborasi untuk mencapai target yang diinginkan.”

“Saat ini BUMN sudah tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Di era VUCA, setiap perusahaan harus mampu agile melalui cara kolaborasi. Contoh kecil adalah para pemain industri perbankan yang mulai merangkul fintech. Hal ini awalnya dipikir sebagai disruption, namun melalui kolaborasi justru dapat memberi keuntungan bagi masing-masing pihak,” kata Ahmad.

Jika dirangkum dalam lima karakter, BUMN menurut Ahmad harus memiliki karakteristik crazy, creative, agile, innovative, dan entrepreneurship untuk memenangkan persaingan di dunia VUCA ini.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related