Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah sebesar 9 basis poin di level 15.490 per US$ pada perdagangan, Kamis (4/1/2024). Keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam didorong oleh risalah pertemuan kebijakan Federal Reserve (The Fed) bulan Desember 2023 yang dirilis pada 3 Januari 2024.
Ibrahim Assuaibi, pengamat pasar uang sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka menuturkan dengan adanya risalah tersebut membuat pejabat yakin inflasi terkendali dan khawatir terhadap risiko kebijakan bank sentral yang terlalu membatasi perekonomian. Kendati demikian, hingga sekarang masih belum ada tanda-tanda The Fed bakal menurunkan suku bunganya.
BACA JUGA: Perkuat Nilai Tukar Rupiah, Pupuk Indonesia Akan Genjot Ekspor
“Manufaktur AS mengalami kontraksi lebih lanjut pada Desember, meskipun laju penurunan melambat, sementara lowongan pekerjaan AS turun untuk bulan ketiga berturut-turut pada November menunjukkan berkurangnya kondisi pasar tenaga kerja,” kata Ibrahim melalui keterangannya, Kamis (4/1/2023).
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh faktor lain di antaranya seperti melemahnya perekonomian AS. Hal ini mendukung adanya spekulasi penurunan suku bunga The Fed pada tahun ini seiring dengan terkendalinya inflasi.
BACA JUGA: Dampak Stabilisasi Rupiah dan Bayar Utang, Cadangan Devisa RI Turun
Meski begitu, terjadi peningkatan ekspektasi terhadap scenario soft-landing di negara dengan perekonomian terbesar telah membuat para pedagang pasar uang terpecah mengenai kecepatan dan skala pelonggaran dari bank sentral AS. Penilaian pasar saat ini menunjukkan 72% kemungkinan The Fed akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret 2024.
Kondisi kian diperburuk dengan konflik geopolitik di Timur Tengah yang makin panas sehingga membuat para pedagang pasar uang khawatir adanya pelemahan ekonomi. Sedangkan dari dalam negeri, pelemahan rupiah terjadi karena utang luar negeri yang semakin menggunung.
Adapun utang pemerintah pada tahun 2024 diperkirakan menembus angka Rp 8.600 triliun. Ini terdiri atas besaran utang jatuh tempo dan beban bunga yang akan dibayar dengan penerbitan utang baru.
“Selain itu, utang pemerintah tercatat Rp 8.041 triliun per November 2023,” ujarnya.
Ibrahim menambahkan situasi diperburuk dengan langkah pemerintah yang tampak nyaman dengan porsi utang 90% berbentuk surat berharga negara (SBN) lewat bunga yang relatif tinggi. Padahal, beban bunga utang yang meningkat akan menyebabkan penyempitan ruang fiskal.
“Tidak semua utang digunakan untuk belanja produktif. Pembayaran bunga dan pokok utang jatuh tempo lewat utang baru membuktikan utang digunakan juga untuk hal sifatnya nonproduktif,” tuturnya.
Editor: Ranto Rajagukguk