SAP: 90% Bisnis di Indonesia Yakin Keberlanjutan Selaras dengan Profitabilitas
Sebuah studi terbaru dari SAP menemukan 90% bisnis di Indonesia melihat adanya hubungan yang selaras antara keberlanjutan dan profitabilitas organisasi mereka. Sementara itu, 91% mencatat adanya hubungan antara keberlanjutan dan daya saing.
“Keberlanjutan tidak dapat lagi dianggap terpisah dari kinerja keuangan bisnis yang lebih luas karena semakin jelas bahwa organisasi yang lebih berkelanjutan adalah organisasi yang lebih sukses,” kata Gina McNamara, Regional Chief Financial Officer, SAP Asia Pacific and Japan dalam keterangannya, Selasa (5/12/2023).
Dampaknya terhadap hasil bisnis mendorong investasi. Di Indonesia, 66% perusahaan berniat meningkatkan investasi mereka di bidang keberlanjutan dalam tiga tahun ke depan, yang mengindikasikan adanya hubungan kuat antara keberlanjutan dan prioritas bisnis.
BACA JUGA: Gencar Inisiastif Keberlanjutan, Pertamina Raih 5 Penghargaan di Taiwan
Lebih dari separuh (55%) perusahaan di Indonesia berharap dapat menunjukkan keuntungan finansial yang positif dari investasi keberlanjutan mereka dalam lima tahun ke depan, dibandingkan dengan 61% responden global.
“Saat ini, 2% bisnis di Indonesia menyatakan keberlanjutan merupakan hal yang penting bagi hasil bisnis mereka, dan 36% lainnya menyatakan bahwa hal tersebut akan menjadi penting dalam lima tahun ke depan. Sekarang adalah waktunya untuk menggabungkan pengambilan keputusan keuangan dan lingkungan dalam setiap proses bisnis, jadi kami memperlakukan data karbon sama seperti kami memperlakukan data keuangan,” ujar McNamara.
BACA JUGA: PT AGIT Bangun Keberlanjutan Bisnis Pengelolaan Pelabuhan Anggrek
Meskipun begitu, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Kurangnya strategi dampak lingkungan merupakan penghalang utama dalam mengambil tindakan hijau dengan 42% perusahaan di Indonesia menganggap hal tersebut sebagai tantangan, angka ini berada di atas rata-rata dunia yang hanya terhitung 32%.
Masalah penting lainnya termasuk ketidakpastian yang disebabkan pandemi COVID-19 (40%), keraguan terhadap kemampuan mengukur dampak terhadap lingkungan (34%), dan kurangnya kejelasan tentang bagaimana tindakan potensial akan selaras dengan strategi organisasi (32%).
Editor: Ranto Rajagukguk