Beberapa waktu lalu, WeWork mengumumkan pemberhentian pendiri mereka, Adam Neumann dari jabatan CEO. Sebelumnya, WeWork diterpa dengan beragam masalah terkait dengan rencana mereka untuk segera melantai di bursa.
Sontak, apa yang dihadapi oleh WeWork menghadirkan pertanyaan besar akan masa depan dari bisnis co-working space. Meskipun begitu, banyak pihak yang melihat bahwa bisnis co-working space justru akan semakin menggeliat.
Analisis DBS Group Research dengan judul Co-Work Mushrooming Cross ASEAN memprediksi bisnis co-working space akan tetap berlanjut. Laporan ini memaparkan konsep tempat kerja bersama yang didukung oleh fasilitas seperti kantor dibandingkan rumah atau coffee shop tetap menjadi pilihan kantor yang menarik untuk banyak orang.
Riset juga memaparkan, permintaan dari operator-operator co-working space hadir di kota-kota utama di ASEAN, seperti Bangkok, Kuala Lumpur, Jakarta, dan Singapura tetapi dengan kecepatan yang berbeda. Pendorongnya adalah budaya perusahaan startup yang berkembang. Penyerapan yang terkuat ada di Singapura, Jakarta, dan Bangkok sementara Kuala Lumpur baru saja menyusul.
Co-working space di Singapura menyerap lebih banyak dengan 6% dari total stok ruang perkantoran dibandingkan di Jakarta sebanyak 4%. Di Jakarta, dalam tiga tahun bisnis co-working space meningkat dengan banyak pemain baik dari dalam dan luar negeri.
Selain WeWork, tiga pemain besar dalam industri ini di Indonesia adalah CoHive, GoWork, dan WeWork. CoHive saat ini memiliki 30 area properti yang tersebar di enam kota. Sementara GoWork mencapai 20 lebih properti. CoHive menawarkan layanannya dengan rata-rata biaya Rp 2 juta per bulan. Sementara, GoWork menawarkan di angka Rp 2,6 juta rata-rata.
Menurut Ferry Salanto, Senior Associate Director Colliers Indonesia, proporsi dari properti co-working space dari keseluruhan ruang kantor biasanya mencapai angka 3,5%-5% di kawasan Asia Pasifik.
Menurutnya, saat berawal beberapa tahun lalu, banyak operator co-working space bermain di luar kawasan bisnis. Biasanya mereka memiliki properti dalam bentuk rumah ataupun ruko. Namun, saat ini para operator sudah berani masuk ke dalam kawasan bisnis di pusat-pusat kota.
“Saat ini, klien mereka bukan lagi startup. Banyak dari mereka sudah menyasar kalangan korporasi besar,” terang Ferry.
Bagi Ferry, saat ini banyak korporasi besar yang mulai menurunkan anggaran untuk ruang kerja. Alih-alih melakukan investasi gedung, jaringan, dan furnitur, banyak dari korporasi yang beralih pada operator co-working space.
“Co-working space menawarkan fleksibilitas yang besar. Akhirnya, ini menjadi menarik di kalangan korporasi besar,” tutup Ferry.
Editor: Sigit Kurniawan