Seasonal Marketing dengan Events

profile photo reporter Taufik
Taufik
16 Agustus 2024
marketeers article
Ilustrasi seasonal marketing. (Sumber: 123rf)

Kalau olimpiade di Munich 1972, Montreal 1976 dan Moskow pada tahun 1980 yang menjadi acuan, barangkali tidak banyak negara yang akan berebut menjadi tuan rumah olimpiade. Munich, karena ada peserta olimpiade yang dibunuh sehingga ada risiko keamanan yang besar. 

Montreal karena masalah perencanaan sehingga pengeluaran meledak jauh di atas budget. Terakhir, Moskow karena ada pemboikotan setelah ada konflik regional di Afganistan.

BACA JUGA: Jalani Seasonal Marketing, ASTEC Rilis Koleksi Juara ’92 Jelang HUT ke-79 RI

Namun jika pada tahun 1964, Tokyo bisa menjadi etalase kebangkitan kembali Jepang pascakalah perang tahun 1945, mestinya kota-kota lain yang menjadi tuan rumah olimpiade bisa menirunya dalam melakukan seasonal marketing. Itu dilakukan Jepang di dalam arena dengan menugaskan seorang atlet kelahiran Hiroshima, tepat di hari bom atom dijatuhkan di kota itu pada 6 Agustus 1945. 

Dia dipilih menyalakan obor olimpiade sebagai simbol perdamaian. Di luar arena, berbagai contoh kelayakan Jepang sebagai sebuah negara industri maju gampang ditemui, mulai dari produk elektronik, otomotif hingga ke kereta cepat Shinkansen.

BACA JUGA: Benarkah Kol Goreng Bisa Memicu Kanker?

Persiapan Tokyo menjadi tuan rumah olimpiade pada tahun 1964 dilakukan rapi. Soalnya, Tokyo adalah kota pertama di Asia, benua dengan penduduk paling banyak di dunia yang menjadi tuan rumah event besar dunia seperti olimpiade. 

Meski saat itu masih banyak negara Asia yang belum merdeka dan masih terbelakang, tapi Tokyo bukan hanya ingin menunjukkan bagaimana Jepang bisa cepat bangkit pascakalah perang tapi bisa menjadi inspirasi negara-negara Asia lainnya.

Karena ada tiga peristiwa dalam tiga olimpiade berturut-turut, tentu hal ini menjadi catatan buat penyelenggara olimpiade berikutnya. Los Angeles yang menjadi tuan rumah pada tahun 1984 dan berlokasi di Amerika Serikat, negara yang memelopori boikot olimpiade di Moskow tahun 1980 bahkan sudah mengantisipasi potensi boikot balasan dari negara-negara yang menjadi sekutu Uni Soviet. 

Kala itu Uni Soviet belum pecah menjadi Rusia dan berbagai negara lainnya. Menariknya, di kota yang identik dengan klaster industri hiburan, yang ditunjukkan justru entrepreneurship dari panitia penyelenggara yang swasta murni agar olimpiade bisa berjalan dengan baik.

Inilah salah satu cikal bakal perlunya melibatkan dukungan perusahaan besar sebagai sponsor dan menjual hak siar televisi untuk event besar seperti olimpiade. Ternyata dana yang diperoleh dari sponsor dan hak siar televisi jauh di atas biaya yang dikeluarkan. 

Artinya, Olimpiade Los Angeles pada tahun 1984 menjadi contoh bagaimana sebuah event yang besar tidak harus menjadi beban negara atau suatu kota tapi bisa mendatangkan laba. Jelas saja yang dilakukan Los Angeles kemudian coba ditiru oleh kota-kota lain yang menjadi kota penyelenggara event besar seperti olimpiade atau Piala Dunia sepakbola. 

Apalagi makin besarnya persebaran televisi di seluruh dunia menjadikan biaya yang dikeluarkan untuk membeli hak siar dan sponsorship layak dilakukan. Itulah yang kemudian membuat sejumlah perusahaan menjadi sponsor resmi olimpiade atau Piala Dunia Sepakbola dalam beberapa penyelenggaraan.

Mengapa ada perusahaan-perusahaan yang sampai berpikir bahwa menjadi sponsor olimpiade atau Piala Dunia yang hanya berlangsung empat tahun sekali memang layak dilakukan dan perlu? Berbeda dengan seasonal marketing tahunan seperti terkait dengan hari besar keagamaan atau budaya seperti Imlek, yang bisa dilakukan siapa saja, maka hanya perusahaan tertentu saja yang bisa memanfaatkan momen seperti olimpiade dalam seasonal marketing mereka. 

Eksklusivitas ini bahkan melindungi sponsor resmi dari saingan yang mencoba menyalip di tikungan. Jadi kalau Tokyo pada tahun 1964 memanfaatkan olimpiade sebagai bagian pemasaran negara, maka Los Angeles tahun 1984 menjadi contoh sebuah seasonal marketing yang menguntungkan. 

Keduanya sama-sama dilakukan dengan perencanaan yang matang. Ada yang langsung mendapatkan untung, seperti Los Angeles, tapi ada yang mendapatkan belakangan seperti Jepang yang produk-produknya mulai banyak dikenal dunia pasca Tokyo menjadi tuan rumah olimpiade tahun 1964.

Seoul yang menjadi tuan rumah olimpiade pada tahun 1988 tentu ingin mengikuti jejak Los Angeles. Tapi itu tidak mudah dilakukan, sekalipun Korea Selatan punya pemerintah kuat yang mengendalikan dunia usaha. 

Soalnya, perusahaan besar yang berasal dari Korea Selatan saat itu kecil untuk ukuran dunia dan belum banyak dikenal di luar Korea Selatan. Tapi yang bisa dilakukan Korea Selatan pada tahun 1988 mirip dengan yang dilakukan Jepang tahun 1964. 

Kalau Jepang ingin menunjukkan proses kebangkitan kembali pascakalah perang, maka Korea Selatan menunjukkan bagaimana mereka bisa cepat membangun pasca terhentinya perang. Selain hampir mirip dengan yang dilakukan Jepang pada tahun 1964, Korea Selatan juga menunjukkan bagaimana atlet-atletnya mampu bersaing karena didukung dengan ginseng.

Tentu tidak harus country branding untuk pemasaran industrial products dalam pemanfaatan seasonal marketing berbasis event besar seperti olimpiade, tapi juga pariwisata. Inilah yang dilakukan Barcelona pada tahun 1992, sebuah olimpiade bersejarah untuk Indonesia ketika pertama kalinya bisa meraih medali emas setelah beberapa kali mengikuti olimpiade. 

Sebagai negara yang menjadi salah satu tujuan wisata di Eropa, Barcelona menjadikan olimpiade sebagai kampanye pesona wisata Spanyol. Enaknya Barcelona, Spanyol pada tahun 1982 karena kembali menjadi tuan rumah untuk Piala Dunia sepakbola, sebuah event besar dunia, tapi untuk satu cabang olahraga. 

Hanya saja, yang menjadi tempat pertandingan Piala Dunia sepakbola bukan hanya satu kota tapi beberapa kota. Sehingga akhirnya bisa mengumpulkan banyak pelajaran sebelum sebuah event dari berbagai cabang olahraga dilakukan di satu kota.

Ketika olimpiade kembali dilakukan di Amerika, tepatnya di Atlanta pada tahun 1996, ada perusahaan besar asal Atlanta yang juga merupakan sponsor langganan, yaitu Coca Cola yang bisa dikatakan mendapatkan manfaat optimal dalam seasonal marketing. Kebetulan sebagaimana halnya sejumlah perusahaan besar di Amerika dan Eropa, Coca Cola punya museum untuk menggambarkan sejarah perjalanan perusahaan. 

Jadi selain melihat logo dan produk, pengunjung yang mau membayar juga bisa mengunjungi perusahaan dan museumnya. Hanya saja, Atlanta tentu ingin beda dengan Los Angeles. 

Kebetulan pada tahun 1971 Atlanta menjadi saksi ketika Muhammad Ali kembali naik ring tinju setelah gelarnya dicopot karena menolak wajib militer untuk perang Vietnam tahun 1960-an. Sebagai bentuk penghormatan, Muhammad Ali yang mengalami sakit Parkinson diberi kehormatan menyalakan obor olimpiade 1996.

Yang dilakukan Atlanta itu bukan sekadar agar olimpiade bisa sukses secara keuangan, tapi juga dalam aspek public relation. Orang yang pernah mendapat perlakukan yang tidak semestinya di masa lalu, ditampilkan di momen terpenting acara pembukaan olimpiade. 

Karena kondisi fisiknya yang terganggu karena sakit Parkinson justru bisa mengharu biru para penggemarnya yang ada di seluruh dunia dan penonton lain. Sidney yang menjadi tuan rumah olimpiade pada tahun 2000 kemudahan terinspirasi memanfaatkan pop culture icon  Australia dan Kanguru untuk mengikuti jejak Barcelona menarik lebih banyak wisatawan. 

Athena yang menjadi tempat olimpiade di zaman kuno seharusnya meniru Barcelona dan Sidney, karena punya banyak objek wisata yang terkenal di dunia. Tapi karena masalah manajemen perencanaan malah membuat penyelenggaraan olimpiade menjadi beban besar yang merepotkan pada tahun-tahun berikutnya. 

Beijing yang menjadi tuan rumah olimpiade pada tahun 2008 jelas tidak ingin mengalami masalah tersebut dan mencoba meniru jejak Tokyo tahun 1964 dan Seoul tahun 1988. Setelah perang saudara dan revolusi kebudayaan pada tahun 1960-an, Tiongkok yang mulai melakukan pembangunan besar-besaran tahun 1978 seperti ingin menunjukkan pencapaian yang sementara diraih, sebagai sebuah negara yang melangkah menjadi negara maju tapi punya tradisi budaya yang layak menjadi daya tarik di masa depan. 

Setelah menjadi tuan rumah olimpiade pada tahun 2008, dunia mengenal Tiongkok baru, termasuk kemampuan menghasilkan produk yang membanjiri berbagai pasar di dunia. London yang industrinya mulai kalah dibandingkan negara lain, ketika menjadi tuan rumah pada tahun 2012 mencoba menjadikan olimpiade sebagai seasonal marketing yang paling sukses di dunia. 

Kebetulan Inggris yang menjadi salah satu pusat pop culture dunia dan sekaligus pusat keuangan dunia, paham benar bukan hanya soal sponsorship dan hak siar televisi tapi menjual pop culture icon-nya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Tidaklah mengherankan kalau acara pembukaan dan penutupan London Olympics adalah event olahraga dengan viewership salah satu yang terbesar di YouTube.

Mereka bahkan bisa memanfaatkannya sekalipun pelaksanaan olimpiade sudah selesai beberapa tahun sebelumnya. Pada masa pandemi, di mana banyak orang yang diam di rumah, menonton YouTube dari pop culture icon adalah salah satu kegiatan yang dilakukan banyak orang. 

Karena London Olympics jeli memanfaatkan pop culture icon-nya, maka manfaat langsung seasonal marketing-nya bisa berlangsung lebih panjang dibandingkan olimpiade lainnya.

Related

award
SPSAwArDS