Transportasi digital hadir di Indonesia sejak tahun 2014 ketika Uber membuka operasinya. Sejak itu, kehadiran transportasi online terus berkembang menjadi bagian gaya hidup sehari-hari terutama masyarakat urban. Transportasi online lahir dari disrupsi teknologi yang mengubah wajah sektor transportasi dengan sangat cepat. Akibatnya, banyak ruang kosong dalam regulasi untuk mengatur sektor yang sama sekali baru ini.
“Transportasi online harus diregulasi. Walaupun perkembangannya cepat sekali, pemerintah harus hadir melindungi masyarakat, baik yang bekerja sebagai pengemudi, maupun konsumen,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi dalam siaran persnya.
Prioritas Kemenhub dalam meregulasi sektor transportasi online adalah aspek-aspek keamanan dan keselamatan, tarif yang terjangkau bagi masyarakat, dan ketertiban dalam tata lalu lintas secara keseluruhan.
Menurut Budi, yang sedang hangat belakangan ini adalah masalah tarif. “Setiap ada rencana peraturan, langsung asosiasi ojek online dan aplikator bereaksi. Kapan selesainya ini peraturan?” kata Budi.
Namun Budi mengatakan pihaknya optimistis peraturan baru tidak akan merugikan pengemudi dan konsumen karena telah diperhitungkan dengan cermat.
Menurut survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhub, 76% pengemudi ojek online merasa kenaikan tarif akan membawa kesejahteraan bagi mereka. Dan, 61% merasa tidak ada dampak dari kenaikan tarif terhadap pesanan yang mereka terima.
“Pengaturan tarif ini penting untuk menjaga standar keamanan, keselamatan, dan pelayanan. Dan saya melihat Grab paling inovatif dalam masalah keamanan dan keselamatan,” ujar Budi.
Sebelumnya, mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri memaparkan, regulasi di sektor teknologi, salah satunya transportasi online seringkali ketinggalan dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat. Regulasi berumur pendek dan jadi tidak relevan lagi sementara pemerintah tentu tidak bisa mengubah peraturan setiap hari.
“Sebaiknya, regulasi di sektor teknologi lebih menekankan pada prinsip-prinsip umum, bukan pada peraturan yang mendetail,” kata Chatib.
Selain itu, menurut Chatib dunia baru ini membutuhkan birokrasi yang lebih lincah (agile)dan tidak hierarkis.
Beberapa waktu lalu, Center for International and Strategic Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics melakukan sebuah riset mengenai manfaat ekonomi digital bagi Indonesia dengan studi kasus Grab. Riset menemukan bahwa Grab memberi kontribusi dari dua sisi, yaitu dari sisi produsen dan konsumen.
Dari sisi produsen, Grab menyumbang sekitar Rp 48,9 triliun pada tahun 2018 dari pendapatan pengemudi GrabBike, GrabCar, mitra GrabFood, dan agen Kudo Individual. Sedangkan pada sisi konsumen, Grab menyumbang Rp 46,14 triliun berupa surplus konsumen untuk pelanggan GrabBike dan GrabCar di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Penelitian dengan menggunakan big data ini merupakan yang pertama di Asia Tenggara.
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri mengatakan, teknologi digital di Indonesia mempunyai potensi besar untuk menjadi landasan pembangunan ekonomi inklusif di Indonesia. Penerima manfaat terbesar dari perkembangan ekonomi digital adalah dunia usaha, terutama UKM, dan konsumen.
“Formulasi kebijakan terkait ekonomi digital seharusnya mempertimbangkan kesejahteraan seluruh pihak terkait agar manfaatnya bisa dirasakan secara optimal,” ujar Yose.
Mengomentari hasil penelitian ini, Ridzki Kramadibrata, President of Grab Indonesia mengatakan bahwa hasil riset yang dilakukan Tenggara membesarkan hati mereka.
“Visi dan semangat kami untuk menggunakan teknologi dalam memberikan manfaat bagi masyarakat mulai terwujud. Hal ini sekaligus membuka mata kami betapa ekspektasi masyarakat itu terus berkembang secara dinamis,” ujar Ridzki. “Dari hasil riset ini kami mencoba mencari apa makna kehadiran kami bagi perekonomian Indonesia, termasuk masyarakat Indonesia, baik yang menjadi mitra atau konsumen. Riset ini membantu kami menentukan agenda prioritas untuk melayani Indonesia lebih baik lagi.”
Editor: Sigit Kurniawan