Dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terdapat peraturan mengenai kepemilikan properti untuk segmen Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pada segmen ini, salah satu peraturan yang dibuat adalah dengan mendirikan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan.
Adanya badan tersebut bertujuan untuk mempercepat pembangunan perumahan bagi MBR sekaligus mengatasi backlog atau minimnya pasokan dibandingkan dengan kebutuhan rumah murah. Dengan adanya Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan bisa memacu penyediaan rumah bagi MBR.
Memang, segmen MBR telah lama mendapatkan perhatian pemerintah soal kepemiliki properti. Berbagai kebijakan pun telah dilaksanakan agar segmen ini dapat memiliki hunian yang layak dengan harga terjangkau. Di sisi lain, kebijakan yang ada belum menyentuh segmen MBR secara keseluruhan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Rumah.com bertajuk Consumer Sentiment Study H2 2020, sekitar 36% responden MBR menyatakan kepuasannya terhadap langkah pemerintah untuk menstabilkan pasar properti Tanah Air. Sementara MBR yang menyatakan ketidakpuasan hanya sebesar 19% dari responden.
“Bagi masyarakat atau pekerja kelas menengah yang belum memiliki rumah perlu mendapatkan perhatian sendiri dari pemerintah. Pasalnya, berbagai fasilitas atau kebiajakan pemerintah selama ini belum berpihak pada kelas menengah,” kata Marine Novita, Country Manager Rumah.com.
Padahal potensi pasar properti pada segmen menengah cukup besar. Dalam survei yang sama oleh Rumah.com memperlihatkan 82% responden dari segmen MBR mencari hunian dengan harga kurang dari Rp 750 juta. Angka tersebut terdiri dari 22% responden yang mencari hunian dengan kisaran harga dari Rp 500 juta hingga Rp 750 juta, serta 60% lainnya mencari rumah dengan kurang dari Rp 500 juta.
Data dari Rumah.com lainnya bertajuk Indonesia Property Market Index Q2 2020 memperlihatkan adanya sentimen positif dari sisi penawaran di segmen kelas menengah dan menengah bawah. Segmen terpopuler adalah rumah di kisaran harga Rp 300-750 juta.
Data pencarian dari situs Rumah.com juga memperlihatkan hal yang sama. Sekitar 26% total pencari hunian di situs ini mencari hunian pada kisaran Rp 300-750 juta. Jika ditambah dengan pencari rumah di bawah Rp 300 juta, maka besarnya mencapai 44% dari total pencarian dalam satu tahun terakhir.
“Ini berarti segmen menengah dan menengah ke bawah memiliki potensi besar dalam industri properti. Tapi, jika UU Ciptaker mengubah pola ketenagakerjaan, maka pelaku industri harus beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan mereka terutama dalam pengambilan KPR,” jelas Marine.
Status karyawan tetap atau kontrak memang menjadi salah satu faktor penting dalam pengajuan KPR. Pasalnya, pekerjaan atau penghasilan yang tidak stabil dapat menjadi hambatan dalam mengambil KPR. Sedangkan hal lainnya yang dapat menjadi penghambat adalah ketidakmampuan membayar uang muka untuk membeli properti.
“Stakeholder di industri properti khususnya kalangan perbankan harus memerhatikan kondisi ini dengan saksama. Pengambilan KPR terutama tentang prudence dan profil risiko harus dikelola dengan baik namun tetap menjaga agar karyawan dengan status kontrak jangan sampai tersisihkan kesempatannya dalam memilih rumah,” ujar Marine.
Marine mengatakan, secara umum UU Ciptaker mendapatkan respons positif dari pelaku pasar karena bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk pada sektor properti ketika kepemilikan properti untuk Warga Negara Asing (WNA) telah diatur supaya lebih mudah.
Tetapi, stakeholder maupun pemerintah perlu lebih memerhatikan segmen MBR yang juga terdampak UU Ciptaker. Alih-alih memulihkan pasar properti, UU Ciptaker malah dapat menghambat kinerja industri properti.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz