Film yang mengangkat tema dari kejadian nyata selalu dilingkupi perdebatan soal versi mana yang dianggap benar. Namun, untuk film 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi, polemik jauh bergeser ke ranah politik Amerika Serikat di tengah kampanye presidensial yang sedang berlangsung saat ini.
Pasalnya, film garapan sutradara film waralaba Transformers Michael Bay itu mengisahkan tentang enam mantan tentara Amerika yang menjaga markas CIA di Benghazi. Markas tersebut diserang oleh sekelompok jihadis Libya pada 11 September 2012. Kejadian itu menewaskan empat warga Amerika Serikat (AS), yang salah satunya adalah Duta Besar AS untuk Libya Christopher Stevens.
Saat film produksi Paramount Pictures itu dirilis Januari lalu di AS, media setempat langsung mengasosiasikan tragedi Benghazi dengan sosok Hillary Clinton yang pada saat kejadian, beliau menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS.
Oleh berbagai media Amerika, khususnya media “propaganda” FOX, Hillary dituduh berbohong atas kasus Benghazi dan dianggap lalai dalam memberikan keamanan bagi warga AS di negara konflik. Mengingat, ketika tragedi itu terjadi, Libya tengah dilanda perang sipil yang berakhir pada penggulingan diktator Libya, Muammar Gaddafi.
Tak hanya FOX, majalah The Economist bahkan pernah menulis artikel berjudul “Could a Hollywood film about Benghazi damage Clinton?” Namun, nyatanya, sampai saat ini, Hillary masih menjadi kandidat kuat presiden dari Partai Demokrat dan hanya bersaing dengan senator Bernie Sanders.
Tentu saja, film tersebut menjadi amunisi mujarab bagi lawan politik Clinton, khususnya dari Partai Republik yang dimotori oleh Donald Trump, Jeb Bush, dan Ted Cruz. Trump misalnya, saat kampanye presiden dirinya di Iowa, ia malah mengadakan nonton bareng film tersebut bersama warga pendukungnya.
Begitu juga dengan Ted Cruz yang menyindir Hillary dengan mengatakan, “Film ini bercerita tentang keberanian yang luar biasa dari orang-orang yang berjuang untuk hidup mereka di Benghazi, namun para politisi AS malah meninggalkan mereka.”
Torehan Buruk
Meskipun aksi menyerang santer terdengar dari lawan kubu Clinton, film 13 Hours malah minim reputasi. Dalam pembukaan film yang berdurasi 2,5 jam itu, 13 Hours hanya memperoleh pendapatan US$ 19,6 juta. Jauh di bawah pendapatan Ride Along 2, The Revenant, dan Star Wars.
Padahal, untuk film-film yang menggaet audiens dari kalangan konservatif, seperti Lone Survivor dan American Sniper, biasanya sukses di tangga box office. Lone Survivor berhasil meraih US$ 38 juta, sedangkan American Sniper menyentuh US$ 100 juta pada saat pembukaan film tersebut.
Joe Concha, kolumnis media AS mengatakan, rendahnya torehan 13 Hours disebabkan karena film tesebut sudah dipolitisir sejak awal sebelum film dirilis. Alhasil, film ini telah menciptakan dua kubu calon penonton, yaitu kubu konservatif dan liberal.
“Tentu, kubu konservatif akan lebih memilih untuk menontonnya ketimbang kubu liberal. Apalagi, film tersebut tayang saat kampanye presiden AS berlangsung, di mana sentimen kedua belah pihak sedang tumbuh,” ungkapnya kepada MSNBC.
Sedangkan, kesuksesan American Sniper terjadi karena film tentang sejarah AS menginvasi Irak itu tayang pada Januari tahun lalu yang bukan merupakan tahun politik. Sehingga, film tersebut tidak mengalami politisasi dalam menjatuhkan lawan politik tertentu. Kendati demikian, tetap saja ada perdebatan antara golongan liberal dan konservatif mengenai film itu.
Kurangnya Pemasaran
Strategi pemasaran film pada dasarnya mampu membantu meningkatkan penjualan film, bahkan untuk film dengan ulasan buruk sekalipun. Sayangnya, kontroversi seputar fim 13 Hours, khususnya soal “kebohongan” Clinton, tidak dijadikan bagian komunikasi pemasaran oleh Paramount Pictures.
Di sisi lain, American Sniper sukses lantaran berhasil menjual sosok Bradley Cooper sebagai tokoh utama. Cooper berperan sebagai penembak jitu dari Navy SEAL bernama Chris Kyle yang membunuh 160 orang dalam perang. Film tersebut berhasil meraup keuntungan US$ 250 juta dan menyabet enam nominasi Oscar, salah satunya kategori film terbaik.
Kendati dilingkupi perdebatan, film 13 Hours sarat akan unsur patriorisme dan kepahlawanan ketimbang polemik politisi AS. Bahkan, nama serta wajah Hillary pun tak muncul di film yang merupakan hasil adopsi dari novel non-fiksi karya Michael Zuckoff. Di Indonesia, film 13 Hours tayang bulan ini di bioskop-bioskop terdekat Anda.
Editor: Eko Adiwaluyo