Setelah lepas dari ketidakpastian di masa pemilu pada tahun 2014, industri konstruksi menjadikan tahun 2015 sebagai momentum untuk mendulang pertumbuhan bisnis. Terlebih lagi, pemerintah sekarang berkonsentrasi membangun berbagai infrastruktur, seperti di program tol laut untuk sektor kemaritiman, Power Plant, dan lainnya. Tentunya, ini menjadi angin segar bagi para pemain industri konstruksi, termasuk PT Brantas Abipraya (Persero) atau Abipraya.
Meski begitu, peta persaingan di industri ini makin ketat. Berbagai amunisi harus dimainkan dengan kreatif untuk memenangkan persaingan. Salah satunya, strategi penentuan harga yang dinilai sangat sensitif memengaruhi indsutri ini. “Pricing kerap menjadi kunci keberhasilan perusahaan. Pricing jelas memengaruhi pertumbuhan bisnis ini. Ketika pricing yang diberlakukan kurang kompetitif, perusahaan akan sulit memenangkan tender. Hasilnya dapat menurunkan omzet dan memengaruhi penjualan kami,” jelas Eko Djati T, Direktur Operasi 1 PT Brantas Abipraya (Persero) saat ditemui Marketeers di kantornya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di dalam melakukan pricing, Abipraya memberikan fokus besar pada empat faktor yang memengaruhinya. Keempat faktor tersebut, antara lain kekuatan kompetitor, kondisi ekonomi, politik, dan kemampuan perusahaan. Dari keempat faktor tersebut, kondisi kekuatan kompetitor dan ekonomi menaruh pengaruh terbesar di industri ini. Untuk itu, Abipraya mengerahkan marketing intelligence yang siap memantau dua kondisi ini dari berbagai sumber. Tujuannya, agar pricing yang ditetapkan oleh Abipraya tetap kompetitif di ranah persaingan saat ini.
Sementara itu, untuk komponen pembentuk harganya, Eko Djati menyebutkan berbagai komponen besar, seperti upah tenaga kerja, material, peralatan dan perlengkapan, tax, serta faktor risiko. “Persentase datang berdasarkan jenis proyek yang dikelola. Secara umum, kebutuhan material dan alat berat mendominasi hingga 40%-50% komponen pembentuk harga. Misalnya, pada proyek sumber daya air dan kebutuhan alat berat yang memakan biaya terbesar. Beda dengan proyek gedung yang banyak memakan biaya pengadaan material,” pungkas Eko Djati.