Beberapa waktu lalu istilah quiet quitting begitu ramai dibicarakan. Namun, baru-baru ini muncul istilah baru, yakni loud laborer.
Quiet quitting sendiri mengacu pada keterlibatan seseorang dalam lingkungan pekerjaan. Istilah ini ditujukan pada karyawan yang memprioritaskan work life balance dan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan job desk.
Lain halnya dengan istilah loud laborer yang baru-baru ini ramai dibicarakan. Istilah itu sendiri diciptakan oleh André Spicer, seorang profesor perilaku organisasi dan dekan Bayes Business School, dikutip dari laman CNBC Make It.
BACA JUGA Bangun Lingkungan Kerja yang Efektif dan Kreatif dengan Team Building
Menurutnya, loud laborer merupakan suatu kondisi ketika karyawan senang mempublikasikan pekerjaan mereka. Selain itu, mereka juga cenderung sibuk mempromosikan diri sendiri daripada menyelesaikan pekerjaannya.
Nicole Price, leadership coach dan workplace expert menekankan bahwa loud labourer adalah karyawan yang gemar pekerjaan mereka diketahui, daripada berfokus pada pekerjaan itu sendiri.
“Biasanya, mereka menggunakan berbagai metode promosi diri, seperti berbicara lebih banyak tentang apa yang mereka lakukan atau rencanakan daripada melanjutkan tugas mereka,” ujar Price.
Price mengatakan kepada CNBC terdapat dua tanda yang menunjukkan seseorang termasuk loud laborer. Hal itu meliputi tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya yang banyak namun mengatakan “banyak sekali” yang sedang dilakukan dan mereka akan bilang pekerjaan yang dilakukan sudah begitu banyak.
“Loud laborer sering kali cukup paham politik kantor dan sangat aktif di jejaring sosial profesional, di mana menjadi tempat bagi mereka mempublikasikan tugas dan prestasi mereka,” ujarnya.
BACA JUGA Ciptakan Workplace Culture dalam Lingkungan Kerja
Vicki Salemi, pakar karier di portal pekerjaan Monster.com menjelaskan perbedaan antara seseorang yang dengan percaya diri menonjolkan diri di tempat kerja dan loud laborer. Sosok yang percaya diri diri di lingkungan kerja cenderung memahami kapan harus berbicara mengenai pekerjaannya.
“Sedangkan loud laborer justru mencari perhatian dan membicarakan pekerjaannya meskipun itu bukan hal yang luar biasa,” tutur Salemi.
Dampak pada dinamika tim
Menurut para ahli, loud laborer dapat memberikan dampak negatif bagi tim dan bahkan kariernya di dunia kerja.
“Itu bisa membuat orang terpikat sekaligus membuat orang menjauh, terutama rekan-rekan kerja,” kata Salemi.
Adanya loud laborer dapat menciptakan sebuah lingkungan kerja yang lebih mengutamakan visibilitas dan promosi diri daripada hasil aktual. Kondisi ini tentu saja dapat membuat karyawan demotivasi atau justru jadi lebih suka membiarkan pekerjaan mereka berbicara sendiri, kata Price.
“Promosi diri yang terus-menerus dapat menciptakan suasana persaingan daripada kolaborasi,” tutur Price.
Editor: Ranto Rajagukguk