Sejak tahun 2014, pemerintah menjadikan pariwisata sebagai sektor ekonomi unggulan. Walau target kunjungan wisman tak tercapai pada tahun lalu, pemerintah telah menyiapkan amunisi untuk menggerek pariwisata menjadi penyumbang devisa non-migas tertinggi di Indonesia.
Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Borobudur, Semeru, Mandalika, Wakatobi, Morotai, Labuan Bajo, serta Kepulauan Seribu dan Kota Tua Jakarta adalah sepuluh wilayah yang telah dan segera digarap sebagai destinasi prioritas ‘Bali Baru’. Sejauh ini, penetapan kebijakan tersebut telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Hiramsyah S. Thaib, Ketua Tim Percepatan Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas Kemenpar mengatakan turisme dikenal sebagai sektor yang paling mudah dan murah untuk digarap. Sektor ini juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB).
“Sejak tahun lalu, sektor pariwisata mampu memberikan devisa non-migas terbesar kedua. Selain itu, sektor ini berpihak kepada ekonomi kerakyatan,” ujar Hiramsyah di acara forum diskusi MarkPlus Center for Tourism & Hospitality di Philip Kotler Theater, Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (17/1/2018).
Selain ekonomi nasional yang meningkat, ekonomi daerah juga turut terdongkrak. Hiramsyah memberi contoh apa yang terjadi di Kabupaten Samosir, Toba, Sumatera Utara. Sejak Toba ditetapkan sebagai salah satu destinasi wisata unggulan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Samosir meningkat 81% pada tahun lalu. Kunjungan wisatawan pun diklaim meroket tajam.
Memang, jika dilihat secara kumulatif, target wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia sedikit di bawah yang diharapkan. Dari target 15 juta, Indonesia berhasil memboyong 13,7 juta wisman. Tahun depan, pemerintah tetap menargetkan 17 juta wisman, sebelum pada tahun 2020 menjadi 20 juta wisman.
Meski tak memenuhi target, Indonesia masih menjadi negara dengan pertumbuhan pariwisata terbesar di Asia Tenggara bersama dengan Vietnam. The Telegraph menyebut negeri ini berhasil menjaga momentum pertumbuhan pariwisata sebesar 24% di saat pertumbuhan di ASEAN hanya 8% dan di dunia 6,4%.
Tak hanya itu, indeks pariwisata Indonesia menurut World Economy Forum (WEF) terus melompat dari urutan 70 pada tahun 2013 naik menjadi 50 pada tahun 2015, dan saat ini naik posisi di peringkat 42. Pada tahun 2019 nanti, Indonesia diharapkan masuk posisi 30 besar.
Karena itu, Hiramsyah meyakini apabila pertumbuhan tersebut mampu bertahan sebesar 20% hingga tahun depan, sektor pariwisata bakal menjadi sektor non-migas pertama yang mendulang devisa negara terbesar di Khatulistiwa.
“Karena itu, perlu membangun destinasi baru yang tidak lagi tergantung pada tiga destinasi utama, yaitu Bali, Kepulauan Riau, dan Jakarta,” timpal dia.
Dirinya bersama tim menyerukan strategi penta helix yang menitikberatkan pada sektor swasta sebagai ujung tombak pembangunan pariwisata. Di saat yang sama, pemerintah akan bertindak sebagai pendukung. Penta helix ini merupakan kolaborasi lintas sektor, mulai dari akademisi, pebisnis, pemerintah, komunitas, hingga pelaku media.
Tak hanya itu, pihaknya juga menelurkan sepuluh langkah prioritas dalam mempercepat pencapaian target, antara lain dengan mendorong digital e-tourism, homestay desa wisata, memperbanyak rute penerbangan pesawat terbang (airlines), aktivitas branding, peningkatan investasi pariwisata, serta pengelolaan pusat krisis.
Untuk pengelolaan pusat krisis, Hiramsyah memberi contoh kasus meletusnya Gunung Agung yang menurutnya cukup hiperbolik, sehingga berdampak pada penurunan kunjungan turis ke Bali pada Q4 2017. Ia bilang, Gunung Agung yang berlokasi di selatan Pulau Dewata itu hanya memberikan dampak dalam radius 10 kilometer dari lokasi gunung tersebut.
“Sebenarnya, Bandara Ngurah Rai tidak menerima dampak langsung erupsi gunung api itu. Artinya, travel warning tidaklah tepat,” ujarnya.
Manajemen krisis ini akan terus dilakukan. Alasannya, apabila hal ini dibiarkan bakal melemahkan usaha pemerintah mengejar target sektor pariwisata. Apalagi, tahun ini dan tahun depan, Indonesia menghelat hajatan demokrasi terbesar, yaitu pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan presiden.
“Pusat krisis akan menangkal isu-isu yang menakut-nakuti dan tidak benar. Sebaliknya, pemilu bisa menjadi momentum untuk mendongkrak kunjungan wisman karena orang asing bisa menyaksikan proses demokrasi terbesar keempat di dunia ini,” papar pria yang kerap menjadi mentor startup Indonesia tersebut.
Editor: Sigit Kurniawan