Apakah kalian tau Dr. Maria Montessori? Ia adalah seorang pendidik dari Italia pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Dia adalah orang yang mengembangkan metode “Montessori”, sebagai hasil dari penelitiannya terhadap perkembangan intelektual anak. Metode ini diterapkan terutama di pra-sekolah dan sekolah dasar, walaupun ada juga penerapannya sampai jenjang pendidikan menengah.
Lantas, apa sih hasil penelitian dari Dr. Maria Montessori ini? Yuk, simak penjelasan berikut!
Teori perkembangan intelektual anak yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori membagi proses tumbuh kembang anak ke dalam empat tahapan utama. Setiap tahap perkembangan ini membawa tugas utama yang berbeda bagi anak, yang melibatkan perkembangan kemandirian, intelektual, dan sosial mereka.
Tahap pertama adalah “Invasi”, yang mencakup anak-anak usia 0-6 tahun. Pada tahap ini, fokus utama anak adalah mencapai kemandirian fisik.
Anak-anak di usia ini cenderung ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, seperti membuka tutup botol atau memakai baju tanpa bantuan.
BACA JUGA: Taro Rangers Camp, Asah Kreativitas dan Empati Anak
“Orang tua perlu memberikan ruang bagi anak untuk mengeksplorasi dan melakukan aktivitas fisik secara mandiri. Ini membantu mereka membangun rasa percaya diri dan kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri,” kata Damar Wahyu Wijayanti, Psikolog dalam acara Taro Rangers Camp yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Taman Safari Indonesia.
Tahap kedua adalah “Childhood”, yang meliputi anak-anak usia 6-12 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan kemandirian intelektual.
Mereka ingin berpikir dan mengambil keputusan sendiri, dan sering kali lebih banyak belajar dari lingkungan sekitar, seperti teman sebaya dan guru, daripada dari orang tua.
“Anak-anak di usia ini perlu didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, berimajinasi, dan bersosialisasi melalui aktivitas yang relevan dengan tahap perkembangan mereka,” kata Damar.
Selanjutnya, Montessori memperkenalkan konsep “Cosmic Education” untuk anak-anak usia 6-12 tahun. Dalam tahap ini, anak-anak diajak memahami peran mereka dalam alam semesta.
Mereka belajar bahwa setiap makhluk hidup memiliki peran dalam menjaga keseimbangan alam. Misalnya, isu-isu seperti pemanasan global dapat menjadi topik yang relevan untuk mengajarkan anak tentang tanggung jawab mereka terhadap lingkungan.
Memasuki usia remaja, yaitu 12-18 tahun, anak-anak mulai memasuki tahap kemandirian sosial, yang mana mereka fokus memahami jati diri mereka dan bagaimana mereka berkontribusi dalam masyarakat.
“Pada tahap ini, anak-anak akan lebih tertarik untuk terlibat dalam kegiatan nyata di masyarakat dibandingkan dengan aktivitas imajinatif,” ujar Damar.
BACA JUGA: Kasus Mata Minus pada Anak Meningkat, Ini Cara Mencegahnya
Dalam rangka mendukung perkembangan anak di setiap tahap, Damar menjelaskan konsep “Significant Seven”. Pertama, tiga citra diri positif yang harus dimiliki anak untuk tumbuh menjadi individu yang berkualitas (capable human being), yang terdiri atas perasaan mampu, perasaan berharap, dan perasaan memiliki kendali.
Kedua, yaitu empat keterampilan utama yang harus dimiliki anak-anak untuk menjadi individu yang berkualitas (capable human being), meliputi keterampilan interpersonal, kemampuan interpersonal, kemampuan systemic, dan kemampuan menimbang. Semua ini bisa dikembangkan melalui tantangan yang memberikan anak kesempatan untuk belajar dari pengalaman, memecahkan masalah, dan bekerja sama dengan orang lain (adventure parenting).
“Oleh sebab itu, peran orang tua sangat penting dalam mengadopsi konsep adventure parenting ini. Melalui pendekatan ini, orang tua diharapkan mampu mengubah momen sehari-hari menjadi petualangan yang memungkinkan anak untuk belajar dan tumbuh, baik secara fisik maupun emosional. Orang tua juga diajak untuk tumbuh bersama dengan anak dalam proses ini, dengan memberikan kepercayaan pada anak untuk mengeksplorasi dan mengembangkan keterampilan mereka secara mandiri,” tutur Damar.
Editor: Ranto Rajagukguk