E-money bukan barang baru di Indonesia. Sejak tahun 2009, Bank Indonesia sudah merilis peraturan terkait e-money. Data Bank Indonesia mencatat, jumlah uang elektronik yang beredar pada 2016 sebanyak 51,3 juta kartu. Sementara, volume transaksi melalu e-money mencapai 683,2 juta kali dengan nilai Rp 7,1 triliun.
Pasar e-money di Indonesia memang menarik. Tiga sektor yang masuk ke e-money tersebut baik perbankan, telco, dan fintech startup, semuanya memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk menguasai pasar e-money di Indonesia. Ketiganya pun memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Fintech startup misalnya, bisa dipastikan mereka memiliki kelincahan yang luar biasa dalam melakukan pergerakan terkait dengan fitur produk dan layanannya. Beragam birokrasi organisasi yang terdapat di organisasi besar hampir tidak dimiliki oleh para pelaku fintech startup ini. Mereka juga lincah dan cepat beradaptasi pada situasi terkini. Segmen nasabah mereka juga lebih beragam, tidak perlu memiliki akun rekening dari bank tertentu, tanpa memiliki rekening pun sudah bisa merasakan layanannya.
Meski fintech startup lebih lincah, tapi perusahaan telekomunikasi dan perbankan memiliki sokongan dana yang besar di belakangnya. Selain itu, mereka telah memiliki infrastruktur dan jaringan yang kuat di masing-masing layanan. Bahkan, baik perbankan dan telko memiliki data user dan captive market yang sudah tersedia. Jumlahnya tentu tidak dimiliki oleh pelaku fintech startup.
“Kami mengisi celah yang tidak diambil oleh perbankan. Kami tidak mau berantem sama bank, tapi mengambil yang bank tidak mau masuk,” ujar Randy Pangalila Head Mobile Financial Services Indosat Ooredoo.
Randy juga menambahkan bahwa sampai kapan pun perusahaan telekomunikasi tidak boleh melakukan fungsi intermediasi, yakni izin memberikan tabungan dan pinjaman. “Sampai kapan pun tidak akan dapat izin itu. Dapat ijinnya e-money dan izin kegiatan usaha pengiriman uang. Tapi tidak izin menabung atau lending,” tegas Randy.
Hermawan Thendean selaku Senior Executive Vice President PT Bank Central Asia Tbk menjelaskan, pada dasarnya layanan fintech yang dikeluarkan oleh perbankan dan perusahaan telekomunikasi tidak akan bisa sama dengan layanan yang dimiliki oleh para pelaku fintech startup. Menurutnya, perbankan selama ini terikat dengan peraturan yang ditetapkan oleh regulator. Sehingga, gerak yang dilakukan oleh perbankan tidak akan selincah pelaku Fintech Startup.
“Uang yang ada di bank itu bukan uang pemilik bank. Itu uang nasabah. Di BCA ada Dana Pihak Ketiga (DPK) Rp 530 triliun yang merupakan uang nasabah. Regulator ingin menjaga uang ini. Kalau BCA meluncurkan produk, regulator harus tahu. Mulai dari bikin desain sistem, produk, keamanan, reliability, regulator itu harus tahu. Banyak tahapan yang harus diikuti. Kalau fintech, aturan seperti itu tidak ada. Tujuan regulator adalah menjaga uang nasabah agar bank tidak main-main sama uang nasabah,” jelasnya.
Armand Hartono, Wakil Presiden Direktur Bank BCA menambahkan bahwa mereka tidak mau ambil pusing terkait pasar e-money yang sedang dikepung oleh tiga industri. Baginya, BCA akan terus fokus untuk membantu nasabah.
“Apa pun juga ukuran itu penting, tapi kami tidak memikirkan itu. Kami memikirkan untuk membantu nasabah, membangun asset, membuat semua menjadi bankable. Termasuk fintech company juga butuh bank,” ujar Armand.
Fintech di Indonesia masih dalam tahap awal. Masih banyak beberapa hal yang perlu dibenahi. Pemerintah selaku regulator pun masih terus melakukan kajian yang mendalam terkait layanan e-money.
Dari segi infrastruktur, baik perbankan dan telekomunikasi juga masih terus melakukan peningkatan pelayanan yang ujungnya nanti akan meningkatkan program inklusi keuangan dari pemerintah. Sementara, pelaku fintech startup juga terus berbenah dan belajar untuk menemukan format terbaik yang bisa mereka berikan.
Editor: Sigit Kurniawan