Aplikasi pendidikan kesehatan MED+, yang merupakan produk hasil kolaborasi antara Microsoft, VI System (PT Vertikal Integrasi Internasional) dan Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (ILUNI FKUI), menjadi salah satu perkembangan positif bagi sistem pendidikan di Indonesia. Sayangnya, apabila berkaca pada negara tetangga, ternyata Singapura sudah mengadaptasi teknologi sejenis MED+ ini sejak sepuluh tahun lalu.
“Indonesia masih tertinggal dalam hal adaptasi e-learning ataupun integrasi antara teknologi dengan pendidikan kesehatan. Sudah menjadi hal yang biasa bagi negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam untuk mengadaptasi aplikasi yang dapat mendukung mahasiswa untuk mempelajari anatomi, fisiologi, dan patologi tubuh manusia secara tiga dimensi,” kata Andrey R. Hidayat, Chief Excecutive Officer (CEO) VI System, saat ditemui di Balai Sidang Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.
Andrey menyatakan, terdapat sebanyak 21.000 lulusan dokter dihasilkan Indonesia setiap tahunnya. Dari 74 Fakultas Universitas yang ada di seluruh Indonesia, sangat sedikit yang sudah mengadopsi penggunaan alat bantu teknologi pendidikan kesehatan seperti MED+, Bahkan, sebelum aplikasi MED+ ini diluncurkan, belum ada satu pihak pun yangmengembangkan teknologi semacam ini di Indonesia.
“Negara tetangga sudah memiliki standarisasi tentang konten pembelajaran. Contoh lainnya, saat ini Singapura telah memiliki kelas diskusi yang menggunakan meja digital di setiap kelas layaknya Liquid Crystal Display (LCD), dimana pada meja tersebut terdapat seluruh anatomi tubuh yang sudah berupa Augmented Reality,” tambah Andrey.
Setiap mahasiswa di Singapura dapat mempelajari satu per satu layer dari bagian anatomi melalui kelas diskusi tersebut. Bahkan, untuk pembedahan mayat, mahasiswa Singapura sudah menggunakan teknologi Augmented Reality dan Multi Video yang berbentuk persis seperti tubuh manusia. Berbeda dengan calon dokter di Indonesia yang rata-rata diharuskan membedah mayat sungguhan. Itu pun hanya sebanyak empat kali selama tujuh tahun mereka mengenyam pendidikan kedokteran.
Ketertinggalan dibandingkan negara lain ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya Indonesia tidak memiliki stakeholder yang dapat menyediakan komponen dan prosesor yang dapat mendukung teknologi ini, sehingga Industri Augmented Reality belum siap untuk diadaptasi Indonesia.
Ke depannya, pengembangan teknologi pendidikan kesehatan di Indonesia harus mengadaptasi sistem lab, seperti di Singapura. Dikembangkan tidak hanya dari anatomi, tetapi juga dapat menjelaskan siklus pencernaan, ataupun proses tubuh yang lebih rumit.
Pemerintah bersama lembaga terkait harus terus mengembangkan teknologi ini, agar kedepannya tidak kalah saing secara kualitas dengan negara lain. Dokter yang lulus di tahun depan pun akan memiliki standar kualitas yang tidak jauh beda karena memiliki sitem pembelajaran lebih jelas dan lebih interaktif.