Oleh: Ajeng Parameswari, President of Digital Business, Visinema
Memasarkan sebuah film adalah pekerjaan yang tidak mudah. Pasalnya, seorang produser harus membangun “hype” sebanyak mungkin, khususnya pada sebelum dan selama periode tayang film tersebut. Artinya, waktu yang tersedia untuk menjalankan semua aktivitas promosi terbilang pendek. Karena itu waktu adalah komponen yang sangat penting. Lantas bagaimana memasarkan produk film di era sekarang?
Mempromosikan sebuah film tidak lagi terbatas pada mengenalkan film baru pada masyarakat, tetapi juga bagaimana aktivitas promosi tersebut dapat mencuri perhatian publik dan mendorong pengambilan keputusan untuk membeli tiket menonton. Dari sini, hal yang paling utama dilakukan oleh produser adalah menentukan siapa target audience utamanya.
Penentuan target audiens ini akan membantu produser dalam menganalisis pola pikir, kemiripan perilaku, dan kesamaan minat audiens yang akan menjadi dasar dalam menentukan strategi promosi yang akan digunakan.
Saat ini, semua strategi promosi yang digunakan hampir pasti melibatkan digital platform. Di tengah keterbatasan waktu, pemanfaatan digital platform terutama social media menjadi key strategy. Lantaran, informasi dan materi promosi bisa disebarkan secara cepat, sekaligus membangun “hype” di target audiens dengan efektif.
Menurut laporan We Are Social, pengguna aktif media sosial di Indonesia pada awal tahun 2022 mencapai 191 juta orang, tumbuh sebesar 12.35% dibandingkan 2021 yang mencatatkan 170 juta orang. Artinya, lebih dari setengah dari total populasi Indonesia -yang kini sekitar 282 juta jiwa- adalah pengguna aktif social media. Bahkan selama pandemi dan dalam kondisi ekonomi yang melambat, perilaku konsumen di social media berkembang dengan pesat.
New ways of doing business emerge
Lalu, bagaimana peran media sosial dalam promosi sebuah film? Platform social media memungkinkan produser untuk memberikan presence secara online terhadap filmnya.
Tidak sekadar memberikan update informasi film yang sedang dipromosikan, tetapi dengan adanya flexibility format konten, producer bisa leluasa meluncurkan berbagai konten kreatif, seperti poster, teaser, trailer, games, meme, dan lain-lain.
Secara kuantitas, tidak ada batasan sebanyak apa materi yang bisa ditampilkan, membuat produser memiliki ruang yang cukup untuk mendefinisikan identitas dan kepribadian film di benak target audiencenya.
Dengan pemanfaatan social media, seorang producer dapat menanamkan persepsi dan mendeskripsikan nilai yang mencerminkan kekuatan dan keunikan film yang dipromosikannya. Adanya kolom komentar dan fitur interaktif, seperti kolom pertanyaan, voting, dan lain-lain membuat aktivitas promosi yang tadinya satu arah menjadi two way conversations yang lebih menarik bagi target audiens.
Selain itu, media sosial juga memberikan kemewahan berupa data analytics dan user algorithm yang sebelumnya tidak dimiliki oleh pemasar film. Popularisasi terhadap hashtag misalnya, dapat digunakan tidak hanya untuk membidik target audiens yang sesuai, tetapi juga untuk mengukur “hype” yang terbentuk di segmen tersebut.
Bahkan, beberapa platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube telah mengoptimalkan algoritma mereka dengan menunjukkan video yang disesuaikan dengan minat penggunanya. Hal ini pun mendorong produser untuk berevolusi dalam memasarkan filmnya.
Memasarkan sebuah film tidak lagi hanya bertumpu pada kemampuan agar dilihat oleh banyak orang (awareness), tetapi harus mampu menciptakan “engagement” yang merupakan metric pengukuran baru terhadap sebuah materi promosi.
Menguasai metric “engagement” ini akan membantu produser menemukan pola pesan yang menarik perhatian target penonton, memahami material inventory lebih baik hingga mengetahui materi apa yang berhasil dan apa yang tidak. Dari rangkaian manfaat ini, seorang produser dapat membuat rangkaian aktivitas promosi yang bekerja lebih baik.
Untuk memperkuat “engagement”, ada beberapa key factors yang perlu diperhatikan, di antaranya:
1. Relatable content
Konten yang ditampilkan harus menawarkan ikatan emosional dan relatable dengan target audiens. Dengan ramainya pilihan video/konten yang ditawarkan oleh platform dan terbatasnya kesediaan waktu pengguna platform, mereka hanya ingin meletakan perhatiannya kepada konten yang relevan dengan dirinya dan minatnya.
2. Kreatif tetapi tetap simpel
Tentunya sesuatu yang kreatif akan lebih mudah untuk mencuri perhatian public. Tetapi, pesan yang disampaikan juga harus jelas dan mudah dicerna. Contoh paling umum adalah gaya bahasa promosi sebuah film yang disesuaikan oleh bahasa target audiens.
3. Shareable
Menyediakan konten yang shareable (bisa dibagikan dengan mudah baik dalam hal format, media, maupun size) merupakan cara efektif untuk menyebarkan pesan sekaligus menciptakan “social media buzz”.
4. Customization
Perilaku pengguna platform media sosial bisa jadi sangat berbeda antara yang satu dan lainnya. Misalnya, perilaku pengguna Twitter jelas berbeda dengan perilaku pengguna TikTok. Menyesuaikan pesan dan materi promosi agar cocok dengan perilaku pengguna media sosial akan meningkatkan efektivitas sebuah promosi film.
Selanjutnya, saya ingin menyimpulkan bahwa memasarkan sebuah film memang bukan tugas yang mudah dengan adanya waktu yang terbatas. Namun kehadiran teknologi seperti media sosial telah memberikan ruang terhadap kreativitas strategi promosi dan kuantitas materi tak terbatas yang bisa ditargetkan pada audiens secara lebih spesifik.
Hal ini memberikan peluang untuk menciptakan “hype” lebih cepat dan massive di kalangan target audiens. Pemahaman akan keunikan, fungsi dan fitur yang ditawarkan setiap platform media sosial, serta keterampilan mempergunakannya untuk meningkatkan “engagement” akan secara signifikan meningkatkan efektivitas dan efisiensi strategi pemasaran dan aktivitas promosi sebuah film.
Terakhir, film apa yang sedang Anda tonton?
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz