Regulasi yang mempersulit gerak konsumsi minuman alkohol (minol) di Indonesia, tak menghalangi niat Stark untuk meluncurkan inovasi terbaru. Bir lokal yang berbasis di Bali ini merilis varian craft beer yang menjadi pionir di Tanah Air.
Selama ini, orang Indonesia belum begitu familier dengan craft beer. Padahal, minuman ini menjadi fenomena dunia yang mana konsumen ingin merasakan bir yang lebih berkualitas dibandingkan bir komersial.
Bona Budhisurya, Presiden Direktur Stark Indonesia mengatakan bahwa perbedaan antara bir biasa dengan craft beer terletak pada rasa dan kualitas air yang digunakan. Sesuai namanya, craft, setiap proses pembuatan bir dibuat dengan kreativitas tinggi dan menggunakan bahan baku berkualitas.
“Stark Craft Beer sendiri dibuat tanpa jagung. Sedangkan bir komersial lain dibuat dengan jagung untuk menghemat biaya,” ujar Bona saat peluncurkan Stark Craft Beer di The Dutch Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bona melanjutkan, craft beer milik Stark ini 100% dibuat menggunakan malt, gandum jenis barley yang direndam di dalam air yang kemudian mengalami proses pengeringan untuk menahan proses perkecambahan. Sedangkan air yang digunakan berasal dari sumber air Singaraja, Bali, dimana masyarakat setempat dapat langsung mengonsumsi air tersebut tanpa harus dimasak.
“95% bahan baku bir adalah air. Kami menemukan mata air yang bagus di Singaraja. Kalau di perkotaan, sumber air sudah tidak baik karena mineralnya sudah berkurang,” papar pria yang juga Founder OPCO Indonesia, perusahaan f&b yang menaungi Embassy, Portico, dan Domain.
Ada enam varian Stark Craft Beer yang diluncurkan tahun ini. Keenam varian ini dibuat agar bisa diterima oleh semua palet lidah konsumen, sehingga bisa masuk ke segala pasar.
Pertama adalah Wheet Beer, bir jenis ini begitu terkenal di Jerman. Karakter bir ini kerap menggunakan bumbu-bumbu lokal, seperti kulit jeruk dan ketumbar.
Kedua, Dark Wheet, atau bir yang pembuatannya menggunakan gandum yang digoreng tanpa minyak, sehingga membuatnya agak gosong. Warna bir ini cukup gelap dengan cita rasa beraroma karamel dan kopi.
Ketiga, LC Lager yang merupakan bir rendah kalori dan gula. Bona bilang, satu botol LC Lager setara dengan tiga botol bir komersial, seperti Heineken atau Bintang. Bir ini cukup kuat aroma bunga hops-nya yang membuatnya terasa pahit di lidah.
“Ini merupakan inovasi kami untuk menghadirkan bir yang rendah kalori. Sehingga, konsumen yang mulai aware dengan kesehatan, masih bisa menikmati bir tanpa rasa cemas,” tuturnya.
Keempat, Indonesian Pale Ale yang merupakan rekonstruksi dari jenis bir tersohor di dunia Indian Pale Ale (IPA). IPA dari Stark Craft Beer ini memiliki perbedaan dari versi originalnya.
IPA Stark memanfaatkan teknologi brewery terbaru, yaitu dry hoping yang meminimalisir rasa pahit yang selama ini menjadi ciri khas dari IPA original.
“Bunga hops merupakan bahan pengawet alami. Karakter bunga ini sangat pahit karena mengeluarkan getah yang pahit,” ujar Bona menjelaskan.
Teknologi dry hoping itu, membuat getah dari bunga hops tidak terbawa saat proses fermentasi. Warnanya pun kemerahan dengan aroma herbal dan citrus.
Kelima dan keenam adalah Ale Lychee dan Mango. Kedua buah tropis itu dipilih karena merupakan buah yang populer di Asia. Bir ini dibuat bagi mereka yang ingin menikmati bir, namun dengan rasa yang lebih sweet.
“Bedanya kami dengan Radler, kadar alkohol kami 4,9%. Jadi, meski beraroma fruity, tetap saja konsumen mengonsumsi bir, bukan jus,” tegas Bona.
Repositioning
Bir Stark merupakan buah karya anak Indonesia yang dimulai sejak tahun 2010. Pabrik pun dibuka setahun berikutnya di Singaraja, Bali Utara. Kesamaan antara Bali dan Stark yang membuat sang pendiri membenamkan investasinya di Pulau Dewata ini.
“Craft beer memiliki nilai seni yang tinggi karena pembuatannya penuh kreativitas. Dan Bali sangat terbuka dengan keberagaman dan tempat melahirkan karya-karya artistik,” ucap Jacob Suryanata, Founder Stark Craft Beer.
Ia mengakui, pasar minol di Indonesia cukup menantang. Akan tetapi, demand-nya selalu tumbuh saban tahun. Masifnya pembangunan tempat-tempat nongkrong di perkotaan menjadi salah satu yang mendorong permintaan bir.
Industri bir memang dilanda isu serius ketika Kementerian Perdagangan melarang penjualan minol di convenience store dan minimarket. Kebijakan itu telah memukul pendapatan pemain bir, termasuk Stark. Pemain di industri ini mengaku kehilangan 50% penjualan paska peraturan itu diberlakukan pada tahun 2015.
“Larangan penjualan minol membuat penjualan convenience store juga turun 40%. Kebijakan itu cukup memukul kami,” kata Jacob yang memperoleh gelar magister Marketing & Management di University of Technology, Sidney.
Dengan adanya varian baru ini, Stark akan mereposisi brand-nya sebagai merek yang memasarkan craft beer ketimbang bir komersial. Tentu, bermain di kategori baru dan minim pemain jauh lebih mudah ketimbang bersaing di pasar yang sudah didominasi oleh banyak merek. Karena itu, Stark merejuvenasi produk lamanya dari segi tampilan serta menambah varian rasa.
“Jika produk kami dengan label lama masih ada di pasaran hingga awal tahun depan, kami berusaha tarik. Ini kami lakukan agar konsumen aware tentang perubahan kami,” ungkap Jacob.
Untuk craft beer ini, Stark baru memasarkannya di HOREKA (hotel, Restoran, dan Kafe). Itupun terbatas di area Jakarta dan Bali, dua kawasan dengan tingkat konsumsi minol terbesar di Tanah Air.
Pilihan tersebut patut dipahami, mengingat kapasitas produksi Stark masih terlampu kecil yaitu 3.000 liter per sekali produksi, atau 50.000 liter dalam sebulan.
“Dalam setahun, kami memproduksi 600.000 liter. Kami hanya menguasai 5% volume share produksi bir di Indonesia. Sedangkan market share kami hanya 1%,” aku Jacob.
Karena mengusung craft beer yang memiliki added-value ketimbang bir komersil, harga jual produk ini lebih tinggi 60% ketimbang produk lamanya. “Apabila berbicara kategori craft beer, kami saat ini yang terbesar. Sebab, craft beer sebelumnya merupakan produk impor,” pungkasnya.
100% Asli Indonesia
Jacob bilang, Stark akan tetap mempertahankan posisinya sebagai bir asli Indonesia yang dikelola dan dimiliki 100% oleh orang Indonesia. Kendati, banyak perusahaan bir asing yang tertarik menimang merek yang berarti “Kuat” dalam bahasa Jerman ini. Salah satunya adalah Bavaria asal Belanda.
“Banyak pemain asing mau masuk pasar Indonesia dengan menggandeng mitra lokal atau mengakuisisi perusahaan yang sudah ada. Alasannya, pemerintah sudah melakukan moratorium izin pembuatan bir baru,” kata dia.
Yang mesti dilakukan Stark saat ini adalah mengedukasi konsumen perihal craft beer itu sendiri. Jacob menuturkan, pihaknya akan menggelar serangkaian marketing event yang dilakukan di bar atau klub yang menjadi mitranya. Seperti sesi bartender talk di berbagai properti f&b milik Union Group.
“Kami akan tetap menjadi bir Bali asli Indonesia. Dan justru, Stark bertekad menjadi bir lokal yang dikenal di luar negeri,” tutup Jacob seraya mengatakan segera melakukan ekspansi bisnis ke Jepang, Hong Kong, dan Singapura mulai akhir tahun.
Editor: Eko Adiwaluyo