Startup di Indonesia sudah kian spesifik. Jika ada startup yang khusus menjual kasur secara online, kini ada perusahaan rintisan yang menjadi mediator bagi profesional di bidang kontraktor dan konsultan interior. Velospace & Co mencoba menangkap permintaan tersebut.
Mulai berdirinya sekolah arsitek di Indonesia, membuat lulusan profesional di industri arsitektur dan desain interior semakin bertambah. Kendati, berdasarkan data Ikatan Arsitek Indonesia, negeri ini hanya memiliki 15.000 orang tenaga arsitek dan desain interior. Sangat timpang dengan jumlah populasinya yang sebesar 250 juta jiwa.
Di sisi lain, pengembang properti mulai menyasar segmen millennials sebagai target pelanggan. Salah satu perbedaan segmen milenial dibandingkan segmen yang lebih tua adalah terletak pada pertimbangan mereka dalam membeli hunian. Milenial cenderung melihat keunikan dan estetika sebuah desain properti. Walaupun, soal harga bergantung dari daya beli masing-masing.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi Verik Angerik untuk menelurkan startup digital desain interior dan kontraktor bangunan bernama Velospace & Co. Menurut Verik, kebutuhan desain dalam sebuah hunian, baik apartemen maupun rumah kian meninggi, seiring dengan keinginan masyarakat untuk memiliki tempat tinggal.
Melalui platform-nya itu, Verik mengumpulkan para desainer dan kontraktor interior untuk menjadi mitra dan menawarkan jasanya ke perusahaan properti maupun end-user atau pengguna akhir.
“Awalnya kami berpikir banyak sekali lulusan perguruan tinggi di bidang ini yang memiliki daya kreatif tinggi dan tidak kalah dengan mereka yang sudah berpengalaman. Kenapa tidak berkolaborasi saja? Apalagi pasarnya masih terbuka luas,” tutur Verik.
Verik menyadari bahwa untuk membangun usaha di bidang ini, dana menjadi hal penting, selain tentu saja pengalaman dan ilmu. Karena itu, revenue stream yang diperoleh Velospace berasal dari model bisnis kemitraan.
“Bagi kami, memilki mitra di kota lain tanpa harus membuka kantor cabang jelas sangat menguntungkan karena tidak harus menyuntikkan modal baru untuk operasional,” tutur dia.
Selain itu, sambung dia, limpahan proyek dari Velospace bisa menambah portofolio dan pengalaman mitranya dalam bermain di industri interior dan kontraktor.
Menurut dia, bisnis model konvensional membutuhkan modal besar untuk bisa melakukan penetrasi di kota-kota lain, padahal pasarnya belum tentu bisa menyerap. Di sisi lain, ada calon pelanggan potensial yang sebenarnya bisa digarap di suatu kota, namun terbentur biaya operasional.
Dengan kerjasama ini, pihaknya mencoba menjaring penyedia jasa desain interior yang ada di berbagai kota untuk bergabung dalam satu bendera yang sama. “Ini sangat dibutuhkan untuk menangani proyek-proyek raksasa yang butuh kerjasama dengan perusahaan interior lainnya. Termasuk juga kerjasama operasional untuk satu proyek tertentu,” jelasnya.
Adapun target mitra Velospace antara lain para desainer, arsitek, dan insinyur sipil yang mau menjalankan skema kerjasama bagi hasil (profit sharing) tanpa penyertaan modal.
Verik mengaku, selama ini mitra Velospace berasal dari Jakarta. Saat ini, dirinya berharap memperoleh mitra dari Bali, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar. Sebab, kota-kota tersebut sedang bergeliat dalam proyek konstruksi dan pembangunan.
Lantas, bagaimana Velospace menentukan siapa yang memperoleh hak penggarapan proyek? Verik bilang, awalnya calon mitra memberikan profil usahanya kepada Velospace. Setelah itu, bila ada proyek dilakukan di kota itu, secara otomatis perusahaannya akan melakukan penunjukkan langsung.
“Selain hak ekslusif teritori, kami juga memberikan hak berbasis proyek. Misalnya, jika kompetensinya di interior hotel, maka setiap ada proyek hotel kami kerjasama dengan mitra tersebut,” tutup Verik
Editor: Saviq Bachdar