Alkisah, hidup seorang penjaja bubur ayam keliling bernama Sulam. Desakan ekonomi membuat Sulam harus keliling kampung untuk menjual bubur ayam demi roda kehidupannya. Sulam tidak hidup seorang diri, ia harus menafkahi istrinya yang bernama Rodiah dan ibu kandungnya. Meskipun kehidupan ekonominya terbilang sulit dan selalu pas-pasan, Sulam bersama istri dan ibunya memimpikan untuk berkunjung ke tanah suci Mekkah melakukan ibadah haji.
Menatap Ka’bah bagi keluarga Sulam hampir terbilang mustahil. Ikhtiarnya terus mendapat goyangan dari orang-orang sekitarnya. Bahkan, ada seorang haji di wilayahnya yang sesumbar akan mengiris kupingnya sendiri bila Sulam beserta keluarga berhasil naik haji. Suatu waktu, Sulam mendapatkan durian runtuh berhasil menjadi pemenang utama undian di Bank. Sulam berhak atas sebuah mobil mewah berharga miliaran rupiah. Singkat kata, Sulam menjual mobil tersebut dan mendapatkan uang cash untuk pergi berangkat haji bersama istri dan ibunya. Penantian panjang usai sudah, akhirnya sang tukang bubur naik haji.
Mungkin, sebagian dari Anda familiar dengan cerita itu. Kisah tersebut merupakan plot dari FTV Tukang Bubur Naik Haji, sebelum dilanjutkan dengan format sinetron dengan jumlah mencapai 2.185 episode. Tidak bisa dipungkiri bahwa kisah-kisah inspiratif bertemakan mimpi menjadi tema-tema yang tetap digandrungi penonton sinetron di Indonesia.
Ibarat kisah sang Cinderella yang hanya seorang anak tiri dengan kehidupan nelangsa, namun akhirnya bisa bersandingan dengan pangeran tampan. Setiap penonton televisi di Indonesia memiliki mimpinya masing-masing, baik yang terucap atau tidak. Mulai dari pergi haji, menikahi pria yang tampan dan kaya, atau berkumpul bersama saudara yang telah lama hilang. Intinya semua menjual mimpi yang hampir dirasakan mustahil bagi sebagian kalangan.
Ada dua faktor yang membuat konten FTV bernuansa Cinderella Story ini menjadi kesayangan masyarakat. Pertama, kepiawaian para aktor dan aktris dalam memainkan sebuah peran. Bagaimana caranya aktor bisa membawa emosi dan psikologisnya ke kehidupan nyata penonton. Contoh, bila ada aktor atau aktris yang memerankan peran yang amat jahat dan sukses, di kehidupan nyata tidak sedikit aktor atau aktris tersebut mendapatkan kecaman dari penonton program tersebut.
Faktor kedua yang juga tak kalah menentukan adalah jalan cerita. Terkadang penonton suka terkekeh melihat dan mendengar judul-judul FTV yang terasa menggelikan. Tapi percayalah, ketika menyaksikannya, tidak sedikit penonton yang merasa dekat dan lekat dengan salah satu karakter di dalamnya, bahkan tidak sedikit pula yang di dalam hati bergumam “Ini kok gw banget ya.”
“Jalan cerita FTV dibangun dekat dengan kehidupan masyarakat yang ada. Hal ini kemudian dikemas secara sederhana. Kami membangun engagement-nya dengan kuat. Dan, hal ini yang membuat program FTV begitu dicintai,” ujar Sutanto Hartono, President Director PT Surya Citra Media Tbk.
Bagi Sutanto, konten FTV akan tetap menjadi primadona masyarakat. Walaupun biaya produksi yang diperlukan untuk membuat satu konten FTV tidak bisa dibilang murah, keuntungan yang akan didapatkan juga cukup besar. Ia menilai hal itu bisa terjadi lantaran antusiasme masyarakat kepada program FTV sangat tinggi.
Namun, seiring berjalan waktu, program-program bertemakan Cinderella Story tidak hanya dikemas dalam bentuk sinetron atau FTV. Program-program pencarian bakat yang kerap diadakan di beberapa stasiun televisi seperti kontes Indonesia Idol, Dangdut Academy, The Voice, dan beragam jenis lainnya merupakan bentuk lain dari Cinderella Story.
Kebanyakan kontestan acara tersebut berasal dari beragam latar belakang, baik kaya atau miskin. Tidak sedikit pula dari mereka mengikuti lomba itu untuk mencari peruntungan. Syukur-syukur, mereka bisa menjadi juara, dikenal, hingga mengubah nasib mereka. Mereka sama-sama tidak memiliki kesempatan dan koneksi untuk menancapkan eksistensinya di panggung hiburan Indonesia. Namun, mereka memiliki modal yang sama, mimpi.
Dan program seperti ini merupakan menu yang lezat untuk disajikan media kepada para pemirsa. Indosiar misalnya, konsisten membangun konten tentang program pencarian bakat. Selama beberapa tahun terakhir, Indosiar getol menciptakan program pencarian bakat yang faktanya hingga saat ini amat dicintai oleh para pemirsa setianya.
“Di kami, program yang paling diminati adalah program pencarian bakat dan variety show. Tidak sekadar pencarian bakat biasa, kami mencoba untuk mengangkat budaya bangsa yakni musik dangdut melalui program Dangdut Academy,” ujar Imam Sudjarwo, Presiden Direktur PT Indosiar Visual Mandiri.
Tidak hanya mencoba mengubah mimpi para penonton setianya, melalui Dangdut Academy, Indosiar juga mengangkat budaya bangsa dan menjalin kerjasama serta persaudaraan dengan negara serumpun di ASEAN. Saat ini Dangdut Academy sudah tidak dalam skala nasional saja, melainkan sudah memiliki versi internasional dan melibatkan kontestan dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Dangdut Academy bukan satu-satunya program pencarian bakat menjual mimpi yang disajikan oleh Indosiar. Program-program lain seperti Bintang Pantura dan Mikrofon Pelunas Hutang juga menyajikan tema yang sama, musik dangdut dan mimpi.
“Program Mikrofon Pelunas Hutang ini mengangkat orang yang belum beruntung yang pada saat ini menanggung hutang dan tidak mampu bayar. Kami tidak sekadar memberikan bantuan saja. Kami berikan tantangan mereka untuk bernyanyi dan nanti dikomentari. Setelah itu, yang menang lunas hutangnya,” jelas Imam.
Selain secara share amat diminati, kontestan yang berebut untuk mengadu nasib pun beragam. Dengan modal tekad, mereka bermimpi bahwa segala beban hutang mereka saat ini bisa lunas dalam seketika. Imam menambahkan, bahwasanya yang tidak menang pun akan tetap mendapatkan uang, karena selepas acara banyak donator yang membantu para kontestan ini.
Tidak hanya bernyanyi dan dangdut, Indosiar juga menawarkan program AKSI (Akademi Sahur Indonesia). Program yang ditayangkan selama bulan puasa ini mengangkat potensi anak bangsa untuk diangkat ke tingkat nasional dan internasional melalui kemampuan dakwah agama Islam. Tahun ini peserta program AKSI berasal dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Selain itu Indosiar juga menawarkan kontes pencarian bakat komedi melalui Stand Up Comedy Academy.
Yang unik dari program seperti ini tidak hanya kemampuan kontestan dalam memikat hati pemirsa. Ada penggabungan dua unsur yang sebetulnya memiliki nyawa yang amat vital dalam mengguncang hati pemirsa, yakni pembawa acara dan dewan juri.
Dua komponen ini memegang kunci dari jalannya acara. Tidak jarang pula bahwa lebih banyak dewan juri dan pembawa acara yang bicara ketimbang sang kontestan. Tapi hal ini disukai oleh pemirsa. Dalam acara pencarian bakat, para juri dan pembawa acara terkadang terbawa emosinya. Pernah dijumpai, ada beberapa juri yang saling silang pendapat, bahkan dalam satu tayangan pernah ada yang saling mengumpat.
Ketika satu program sudah selesai, Indosiar memiliki serangkaian program pencarian bakat lainnya yang siap untuk ditayangkan. Semuanya dilakukan secara in-house oleh tim Indosiar. Imam menerangkan bahwa biaya yang dikeluarkan memang besar, namun hasil yang didapatkan juga setimpal.
“Hidupnya TV kan memang dari iklan. Kalau tidak untung tentunya kami tidak bisa menggaji para karyawan kami,” singkatnya. Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik kontribusi iklan, Imam menjelaskan keberadaan Indosiar sebagai salah satu brand paling valuable di Indonesia bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Baginya, tren pencarian bakat dengan bumbu Cinderella Story ini masih akan bertahan selama beberapa tahun ke depan. Situasinya saat ini masih aman dan digemari oleh penonton. Bahkan, beberapa pejabat negara kerap hadir dan menjadi bintang tamu dalam program tersebut.
“Ketika ratingnya sudah tidak bagus, kami sudah punya hitungannya. Ketika sudah kurang otomatis akan ada inovasi dan kreativitas dalam program tersebut. Dengan kreasi baru maka penonton masih akan melihat,” katanya.
Konten seperti ini amat digemari selama bertahun-tahun, bahkan tiap tahunnya selalu ada tayangan baru yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa menjual tema Cinderella Story bisa menjadi siasat tersendiri bagi pemilik media. Karena satu hal, setiap pemirsa memiliki mimpinya masing-masing.