Daya tarik merek atau produk itu menjadi tahap awal dari proses terjadinya advokasi dari pelanggan. Hal ini disinggung dalam tulisan sebelumnya berjudul “Strategi Mengubah Brand Awareness Menjadi Brand Advocacy.”
Lalu, bagaimana membangun merek yang memiliki daya tarik tinggi? Paling tidak, bagaimana agar konsumen selain menyadari keberadaan merek atau produk kita, mereka juga tertarik untuk mengetahui lebih lanjut merek kita?
Sebelum menemukan jawabannya, kita memahami konteks dan karakter pelanggan di era sekarang lebih dulu. Kita tahu, konektivitas berbasis internet saat ini, membuat konsumen menjadi sangat berpengaruh (powerful). Mereka ingin diperlakukan sebagai manusia seutuhnya yang memiliki pikiran, perasaan, hasrat, dan harapan. Mereka dengan gampang mengekspresikan pikiran dan perasaannya dan membagikannya kepada orang lain melalui kanal-kanal sosial.
Sayangnya, banyak pemasar lupa akan sisi kemanusiaan pelanggan ini. Mereka masih senang dengan gaya lama, yakni menjadikan konsumen sebagai target maupun objek atau meninggikan mereka sebagai raja yang mudah “dijilat.”
Dalam konsep Marketing 3.0, pemasaran yang baik adalah human-centric marketing yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Beda dengan pendekatan Marketing 2.0 yang mengusung customer-centric marketing dan Marketing 1.0 yang mengusung product-centric marketing. Marketing 3.0 memosisikan pelanggan secara sejajar sebagai sahabat yang ingin diperlakukan sebagai manusia seutuhnya yang memiliki budi, hati, dan spirit.
Nah, kita saat ini sedang berada di masa transisi menuju era Marketing 4.0 yang ditandai dengan perkembangan digital. Di sini, Marketing 3.0 yang mengusung human-centric marketing tetap menjadi landasannya. Konteksnya sedikit berbeda dengan kehadiran dunia digital. Fokusnya tetap pada pelanggan sebagai manusia seutuhnya, tetapi pendekatannya dengan mengkombinasikan interaksi online dan offline.
Lalu, bagaimana membangun brand attraction di era digital ini? Kuncinya tetap pada bagaimana merek tersebut bisa tampil dan berkomunikasi seperti halnya manusia. Human-centric marketing tetap menjadi landasannya. Berikut enam atribut manusia yang bisa diadopsi oleh merek agar bisa tampil dan memiliki daya tarik seperti halnya manusia. Enam atribut ini diadopsi dari buku “Marketing 4.0 Moving from Traditional to Digital” (Wiley, 2017).
#1 Physicality
Seseorang yang memiliki penampilan menarik atau memiliki kemampuan membawa diri dengan baik pasti menarik orang-orang sekitarnya. Demikian juga halnya dengan merek. Daya tarik fisik penting bagi merek. Hal ini bisa ditampilkan melalui logo, desain aplikasi, kemasan produk, tagline, tampilan antarmuka di layar gawai, sampai pada tampilan outlet. Ingat, biasanya, orang jatuh cinta itu pertama-tama karena penampilan fisik. Apple dan Google menjadi contoh merek yang memiliki aspek tersebut secara kuat.
#2 Intellectuality
Intelektualitas terkait dengan pengetahuan yang dimiliki manusia, kemampuan berpikir, dan kemampuan menyampaikan ide-idenya. Intelektualitas ini sangat dekat dengan kemampuan memprediksi masa depan dan berinovasi. Demikian juga, merek yang memiliki intelektualitas yang kuat adalah merek yang inovatif dan memiliki kemampuan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi pelanggannya.
Uber dan Airbnb menjadi contoh merek pintar ini. Mereka bisa memecahkan masalah-masalah aktual konsumen di era sekarang. Mereka mampu menjadi konektor antara penyedia jasa dan konsumennya.
#3 Sociability
Orang yang memiliki sosiabilitas tinggi, biasanya tampil gaul dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda. Dia memiliki kemampuan komunikasi yang bagus – baik verbal maupun nonverbal.
Merek juga dituntut demikian. Merek tidak boleh takut atau minder untuk membangun percakapan dengan pelanggannya. Merek tidak boleh kuper dan harus gaul dengan dunia pelangganya. Merek harus mengedepankan sikap mendengarkan, mampu menjawab pertanyaan konsumen dengan baik dan tepat, serta mampu merespons cepat komplain mereka.
Denny’s Dinner, misalnya. Perusahaan makanan ini berhasil menciptakan sosok sosial di media sosial yang ramah, lucu, sekaligus banyak disukai. Merek ini rajin mem-posting konten yang informatif sekaligus lucu dan direspons banyak orang. Denny’s Dinner menampilkan merek yang lebih manusiawi. Kalau di Indonesia, Anda bisa membayangkan akun Twitter TNI Angkatan Udara yang fenomenal itu. Meski bernaung di bawah nama tentara yang dipersepsi kaku, ternyata akun TNI AU ini bisa tampil horizontal, hangat, lucu, dan tetap berwibawa sehingga disukai banyak orang.
#4 Emotionality
Orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik biasanya diterima di banyak kalangan. Ia menjadi sosok yang menyenangkan. Demikian juga dengan merek. Merek pun harus bisa mengekspresikan emosinya seperti halnya manusia. Merek bisa memberi inspirasi sekaligus mampu menunjukkan sisi humor mereka.
Dove merupakan contoh merek yang memiliki aspek emosional yang kuat. Dove peduli pada isu kepercayaan diri di kalangan perempuan dengan cara mendorong mereka untuk berani mencintai diri sendiri apa adanya dan mengapresiasi kecantikan alami mereka. Dengan didukung oleh kampanye yang masif, Dove pun berhasil terhubung kuat secara emosional dengan perempuan di seluruh dunia.
#5 Personability
Orang yang memiliki kepribadian kuat pasti menjadi sosok menarik bagi orang-orang di sekitarnya. Orang ini mampu memotivasi diri sendiri, memiliki prinsip, memegang nilai-nilai, dan kepemimpinan. Demikian juga dengan merek. Merek dituntut memiliki kepribadian yang kuat.
Patagonia, misalnya, menjadi perusahaan yang mampu menunjukkan diri sebagai merek yang transparan dan peduli pada lingkungan sosial. Melalui Footprint Chronicles, Patagonia mempersilakan pelanggan untuk melihat latar belakang setiap produk yang mereka beli – termasuk jejak produk tersebut terkait dengan lingkungan sosial. Patagonia ingin tampil dengan jujur dan percaya diri untuk memperlihatkan proses bisnis mereka. Termasuk mengakui bahwa proses bisnisnya masih kurang sempurna.
#Morality
Moralitas mengacu pada sikap etik dan integritas seseorang. Orang ini mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk secara moral. Lebih penting dari itu, orang ini berani melakukan sesuatu yang benar. Merek juga harus demikian alias memiliki moralitas kuat dalam memegang nilai-nilai, khususnya dalam bisnis. Moralitas ini harus masuk menjadi bagian dari seluruh keputusan bisnisnya. Ada beberapa perusahaan yang menjadikan nilai-nilai moral ini sebagai bagian utama diferensiasinya.
Unilever, misalnya, pada tahun 2010 mengumumkan Unilever Sustainable Living Plan. Program ini intinya adalah dukungan pada kehidupan sosial dan lingkungan lebih baik.
Demikian enam aspek yang harus dimiliki merek bila ingin mendongkrak daya tariknya di human-centric era ini. Semakin menampilkan diri sebagai manusia, merek tersebut semakin diterima oleh masyarakat konsumen sekarang ini.
Bagaimana dengan merek Anda? Ikuti terus serial Marketing 4.0 di laman www.marketeers.com.
Informasi:
Bagi Anda yang ingin membeli bukunya, silakan belanja di tautan berikut ini: Marketing 4.0