Dalam artikel sebelumnya, Citilink mencoba berbagai strategi untuk hadapi penguatan dolar AS. Kini, mereka berbicara soal perlu atau tidaknya menambah jenis pesawat. Selengkapnya wawancara dengan Albert Burhan, CEO Citilink berikut ini:
Anda mengatakan Citilink ingin dikenal tepat waktu. Seberapa besar persentase tepat waktu saat ini?
Perbandingan delay dengan on time kami pada Februari 2015 lalu berada di angka 82%. Jadi, dari semua penerbangan, 82% berhasil lepas landas sesuai jadwal, dengan batasan umum waktu 0 sampai 15 menit. Sedangkan 18% lainnya, paling banyak delay sekitar 30 menit. Ada juga yang delay satu hingga dua jam juga. Tetapi, itu jumlahnya kecil sekali.
Bandara-bandara kabupaten di Indonesia sudah mulai menggeliat karena dorongan pariwisata. Citilink berminat untuk ikut menjangkau daerah-daerah tersebut?
Untuk menjangkau daerah-daerah itu perlu pesawat khusus. Artinya kami harus menambah jenis pesawat lagi. Saat ini, kami hanya menggunakan satu jenis pesawat, Airbus A320 dengan kapasitas 180 penumpang. Sesuai dengan kaidah maskapai LCC, bisa sukses jika hanya menggunakan satu tipe pesawat. Tujuannya untuk menghemat biaya perawatan.
Sekalinya pemain LCC menambah jenis baru, risikonya jauh lebih besar, ada biaya tambahan untuk perawatan, dan tidak bisa fokus lagi. Jadi, kami tetap menggunakan satu jenis pesawat saja. Mungkin saja ada rute penerbangan tidak gemuk pasarnya, yang kami operasikan hanya sekali sehari.
Bandara-bandara di kabupaten itu juga belum besar dari segi pasar. Pesawat kecil pun biasanya melayani sekali sampai dua kali sehari. Bandingkan dengan rute ke Surabaya-Jakarta yang jumlah penerbangannya bisa 60 sampai 70 kali. Kami mau ambil kue-kue besar seperti itu dulu. Selanjutnya, barulah masuk ke bandara kecil kalau siap.
Jadi, kalau dikatakan kami mau menambah pasar, ekspansi itu dilakukan bukan di rute-rute kecil, namun menambah frekuensi yang sudah ada di sebagian besar rute. Namun, karena berhubung slot di Cengkareng sudah susah didapatkan, kami tambah frekuensi di rute yang tidak menjangkau Cengkareng. Misal rute Medan – Bandung, Medan – Solo. Jadi, tetap di rute yang sudah ada. Baru setelah itu bisa menambah rute baru. Kesimpulannya, kami belum ada rencana untuk masuk ke bandara-bandara kabupaten tersebut.
Bagaimana Anda melihat pembangunan infrastruktur penunjang penerbangan?
Permintaan konsumen itu besar, namun sayangnya infrastrukturnya tidak cukup menampung penumpang. Pembangunan harus dipercepat. Namun, saat ini yang cepat dibangun itu kebanyakan terminal, bukan landasan. Banyak sekali terminal sudah padat, seperti di Cengkareng dan Denpasar. Untuk mendarat dan lepas landas saja sudah tidak muat.
Tidak hanya terminal, landasan juga harus diprioritaskan sebagai solusi lonjakan penumpang. Dua sampai tiga tahun lalu, peningkatan penumpang bisa di atas 20% per tahun. Tahun lalu, hanya sekitar 5% karena infrastrukturnya terhambat. Mau tambah frekuensi tidak bisa. Kalau kami tambah di kota yang masih kosong, permintaannya tidak besar.
Kalau Anda diberi pilihan, lebih baik memperbesar bandara yang sudah ada atau menambah baru?
Jika saya melihat dari perspektif pemain LCC, kami akan memilih menambah baru. Seharusnya ada pemisahan antara bandara berpesawat LCC dengan pesawat-pesawat berukuran besar. Contoh di Kuala Lumpur dan di Eropa. Banyak sekali bandara-bandara khusus untuk menampung pesawat armada LCC. Bandara ini biasanya ditempatkan di luar kota. Sementara, bandara utama ada di dekat kota. Andai saja ada penambahan bandara baru khusus LCC, tentunya bisa menjadi solusi bagi Cengkareng yang lalu lintasnya sudah sangat padat.
Editor: Sigit Kurniawan