Strategi Mengantisipasi Konflik dan Negosiasi dalam Kabinet Merah Putih
Oleh: Christina Nawang Endah Pamularsih, Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UNSOED, Purwokerto
Dalam Organizational Behavior (2023), Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge menggarisbawahi ‘conflict and negotiation‘ sebagai aspek penting dalam dinamika organisasi.
Mereka berdua mendefinisikan konflik sebagai proses di mana satu pihak merasa kepentingannya ditentang atau dipengaruhi secara negatif oleh pihak lain.
Konflik bisa berkisar dari ketidaksepakatan kecil hingga perselisihan besar yang memengaruhi kinerja tim dan hubungan antar anggota. Di sisi lain, negosiasi adalah proses di mana pihak-pihak yang bertentangan berusaha mencapai kesepakatan bersama yang diharapkan bisa memuaskan kedua belah pihak.
BACA JUGA: Prabowo Lantik Jajaran Menteri Kabinet Merah Putih, Berikut Susunannya
Melalui negosiasi, individu atau kelompok berusaha menyelesaikan konflik dengan berdiskusi, berkompromi, dan mencari kesamaan. Robbins dan Judge menekankan bahwa memahami dan mengelola konflik serta negosiasi sangat penting untuk mempertahankan lingkungan kerja yang sehat, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, dan mendorong hubungan kolaboratif.
Artikel ini hendak mengambil beberapa gagasan dari Robbins dan Judge mengenai ‘conflict and negotiation‘ untuk menganalisis dan mengantisipasi apa yang terjadi dalam Kabinet Merah Putih (2024 – 2029) yang baru saja dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto.
Mari kita amati kemungkinan-kemungkinan dinamika yang akan terjadi dalam kerjasama di antara anggota kabinet?
Kita awali dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang dalam Kabinet sekarang mengalami loncatan revolusioner, dari satu menjadi tiga kementerian, dari satu personil menteri menjadi tujuh menteri dan wakil menteri.
BACA JUGA: Perempuan Kreatif dan Tiga Model Praktik Pengelolaan Keuangan
Mereka adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti dengan Wakilnya, Fajar Riza Ulhaq; Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dengan dua Wakilnya Stella Christie dan Fauzan; Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dengan Wakilnya Giring Ganesha.
Mereka bertujuh harus bekerjasama erat dan dekat dalam menjalankan fungsi mereka masing-masing. Tetapi, tantangannya, mereka semua memiliki latar belakang yang sangat bervariasi (etnis, profesi, pendidikan, aktivitas yang digeluti sebelumnya).
Mengingat latar belakang mereka yang beragam, dengan latar belakang pendidikan dan ideologi politik yang berbeda, para anggota mungkin memiliki pandangan yang bertentangan mengenai kebijakan pendidikan dan budaya.
Misalnya, Fadli Zon, dengan pengalaman panjang dalam politik, mungkin memiliki prioritas yang berbeda dengan Abdul Mu’ti dalam menyusun pendidikan budaya dalam kurikulum pendidikan dasar.
Atau, antara Fadli Zon dengan wakilnya, Giring Ganesa yang lama menekuni kariernya sebagai artis. Stella Christie yang puluhan tahun tinggal dan berprofesi sebagai pengajar dan peneliti di dua negara sangat maju, Amerika Serikat dan Cina, potensi berkonflik dengan rekan kerjanya ketika hendak menerapkan gagasan dan idenya mengenai Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.
Setiap anggota akan memprioritaskan kebutuhan bidangnya secara berbeda, yang dapat memicu konflik ketika keputusan memiliki dampak yang saling berkaitan, seperti dalam menyeimbangkan kebutuhan pendidikan budaya dan sains dalam kurikulum.
Selain itu, karena keterkaitan satu bidang dengan lainnya, dinamika heirarki dapat menimbulkan konflik jika peran dan tanggung jawab saling tumpang tindih atau tidak jelas, antara menteri dan wakil menteri, antara kementerian satu dengan lainnya.
Dalam dinamika organisasi Kabinet Merah Putih Indonesia (2024), konflik berpotensi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari ketidaksepakatan kecil hingga perselisihan besar yang dapat memengaruhi kinerja tim dan hubungan antar anggota.
BACA JUGA: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Digital Indonesia melalui Inovasi AI
Mengingat anggota kabinet berasal dari beragam partai politik dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda, ketidaksepakatan dapat muncul dalam prioritas kebijakan, pembagian anggaran, atau program-program yang dianggap lebih menguntungkan kepentingan kelompok tertentu.
Dengan adanya anggota dari berbagai etnis dan budaya yang berbeda di seluruh pelosok Indonesia, cara komunikasi, kerja sama, dan pendekatan terhadap negosiasi dapat sangat bervariasi, berpotensi menimbulkan miskomunikasi atau ketegangan budaya.
Jika tidak dikelola dengan baik, konflik ini dapat berkembang menjadi perselisihan besar yang tidak hanya menghambat pengambilan keputusan, tetapi juga merusak kohesi dan kepercayaan di antara anggota kabinet, yang pada akhirnya berdampak pada efektivitas organisasi dalam mencapai tujuan nasional.
Oleh karena itu sangat menarik untuk berspekulasi mengenai kemungkinan kerjasama yang akan berlangsung antar personil dan dalam beberapa kementerian yang akan disebut ini.
Pertama, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, yang membawahi, antara lain, Saifullah Yusuf (Menteri Sosial).
Mereka membawa konflik dalam yang berlangsung antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nahdlatul Ulama (NU).
Kedua, antara Maruarar Sirait dan Fahri Hamzah, masing-masing sebagai Menteri dan Wakil Menteri (Wamen) Perumahan dan Kawasan Permukiman.
BACA JUGA: Kementerian ESDM Usulkan Subsidi BBM 19,99 Juta KL pada Tahun 2025
Mereka berdua memang tidak terdengar membawa sejarah konflik secara personal maupun institusional. Tetapi mereka berdua membawa sejarah panjang latar belakang payung ideologi yang kontras satu sama lain.
Maruarar memiliki karier politik panjang di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP (kini ia bergabung di Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra) yang nasionalis, sementara Fahri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (kini di Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Gelora) yang Islami.
Ketiga, kemungkinan kerjasama yang tidak mudah antara Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, yang berasal dari Papua dengan wakilnya, Mugiyanto Sipin, orang Jawa, yang lama menjadi aktivis gerakan mahasiswa militan melawan pemerintahan orde baru.
Tanpa membahas detil interaksi orang perorangan, pada umumnya Robbins dan Judge, akan menjelaskan dinamika itu sebagai berikut.
Perpecahan historis dari dua lingkungan dan organisasi dari mana mereka berasal, misalnya, dapat memicu ketegangan interpersonal, yang mungkin muncul dari bias pribadi.
BACA JUGA: Kementerian Agama Dorong Perwajahan Baru Pesantren di Indonesia aru Pesantren
Akar ideologi mereka yang berlawanan mungkin menciptakan ketegangan yang mendasar, misalnya antara kebijakan sekuler dan inklusif dengan kebijakan yang mendorong nilai-nilai yang lebih tradisional.
Robbins dan Judge tidak melulu melihat konflik sebagai sesuatu yang destruktif.
Pembentukan kolaborasi yang berfokus pada tugas, misalnya, dapat menyalurkan perbedaan ideologis mereka ke dalam solusi inovatif. Dialog terstruktur dalam hal tanggung jawab bersama dapat mengurangi gesekan interpersonal.
Dengan demikian, fokus hubungan mereka ditransformasi menjadi profesional daripada pribadi. Untuk mendorong konflik yang fungsional, mereka dapat memperoleh manfaat dari kerangka dialog terbuka di mana perbedaan ideologi dipandang sebagai hal yang saling melengkapi daripada memecah belah.
Dengan mengarahkan konflik menuju tujuan bersama dan menerapkan kolaborasi terstruktur secara teratur, pasangan-pasangan ini dapat mengubah potensi perselisihan menjadi konflik fungsional yang meningkatkan kinerja kelompok dan mendukung tujuan kementerian mereka.
Kembali ke topik ‘tujuh menteri and wakil menteri’ di atas. Kementerian ini adalah contoh kasus yang bagus bagaimana potensi negosiasi hendaknya dipelajari oleh seluruh kementerian Kabinet Merah Putih.
BACA JUGA: Cerita Luhut Ditunjuk Prabowo Jadi Dewan Ekonomi Nasional
Mengenai kementerian ini, kita bisa berimajinasi bahwa Robbins dan Judge akan memberikan beberapa saran berikut.
Pertama, menekankan tujuan bersama, seperti reformasi pendidikan nasional atau pengayaan budaya, sebagai pintu masuk untuk menyelaraskan perspektif.
Dalam hal ini, Fajar Riza Ulhaq dan Abdul Mu’ti, misalnya, dapat berfokus pada pendidikan dasar untuk membangun pemahaman bersama dengan anggota kementerian lainnya.
Kedua, memanfaatkan keahlian yang saling melengkapi. Mengakui kekuatan yang dimiliki setiap anggota dapat menciptakan sinergi. Latar belakang internasional pekerjaan Stella Christie dapat mendorong inisiatif sains dan teknologi, sementara pengalaman Fauzan dalam bidang pedagogi dapat memberikan keseimbangan dan wawasan dalam menerapkan inisiatif tersebut secara efektif.
BACA JUGA: Fakta Menarik Zona Merah, Serial ‘Zombie’ Indonesia Berbumbu Politik
Ketiga, kompromi dan fleksibilitas. Strategi negosiasi yang efektif seperti mendengarkan secara aktif, menghormati perbedaan budaya, dan mengesampingkan agenda pribadi demi kepentingan nasional. Anggota yang menunjukkan fleksibilitas dan memprioritaskan kompromi dapat membantu memediasi konflik, bahkan berpotensi menjadi ‘pembangun jembatan’ di antara rekan-rekannya.
Hasil dari dinamika ini kemungkinan akan bergantung pada kemampuan masing-masing anggota untuk mengelola konflik secara konstruktif dan terlibat dalam negosiasi yang menghormati kekuatan, kontribusi, dan perspektif setiap individu.
Komunikasi yang jelas, penghormatan terhadap keragaman, dan fokus yang terarah pada tujuan kabinet sangat penting untuk menjaga hubungan kerja yang positif di antara para pemimpin ini.