Media sosial, khususnya platform X, tengah ramai membicarakan aksi seorang pendakwah yang dinilai merendahkan orang lain. Setelah menuai kontroversi, yang bersangkutan berdalih bahwa ucapannya hanya guyonan, sedangkan warganet menganggapnya sebagai perundungan.
Tak dapat dimungkiri bahwa memang ada ‘garis tipis’ antara candaan dan perundungan. Hal ini bahkan telah dibuktikan dalam sebuah studi terbitan European Journal of Humour Research, yang mana menyebut candaan yang tidak tepat dapat berubah menjadi perundungan.
Penelitian bertajuk It Only Hurts When I Laugh: Tolerating Bullying Humour in Order to Belong at Work (2022) itu membahas bagaimana humor mampu menjadi ‘alat’ untuk menjalin hubungan sekaligus bentuk tekanan sosial.
Candaan yang sehat bersifat timbal balik, melibatkan semua pihak secara nyaman, dan tidak bertujuan menyakiti. Sebaliknya, perundungan sering kali dilakukan secara sepihak dengan tujuan merendahkan atau menciptakan tekanan emosional pada korban.
BACA JUGA: Cara Skrining Kesehatan Jiwa lewat Aplikasi SATUSEHAT Mobile
Faktor yang Memengaruhi Batas Candaan
Makna dan dampak sebuah candaan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya, budaya memainkan peran besar dalam menentukan apa yang dianggap lucu; sesuatu yang diterima di satu budaya mungkin dianggap tidak pantas di budaya lain.
Selain itu, kondisi pribadi, seperti keadaan emosional atau situasi hidup seseorang, juga dapat memengaruhi bagaimana sebuah candaan diterima. Hubungan antarindividu juga menjadi kunci, karena kedekatan pelaku dan penerima candaan menentukan tingkat kenyamanan mereka.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa apa yang dianggap lucu oleh satu orang belum tentu dianggap sama oleh orang lain. Dengan begitu, kepekaan sosial menjadi sangat penting.
BACA JUGA: Bolehkah Orang Tua Menekan Anak untuk Belajar? Ini Kata Psikiater
Bahaya Perundungan Berkedok Humor
Meski awalnya terlihat sepele, perundungan yang disamarkan sebagai candaan berpotensi menimbulkan dampak yang lebih serius. Korban mungkin saja akan mengalami kerusakan emosional, seperti kehilangan rasa percaya diri atau merasa tidak dihargai.
Dalam konteks kelompok, dinamika sosial dapat terganggu karena munculnya konflik yang disebabkan oleh candaan yang melukai. Lebih jauh lagi, jika candaan menyentuh karakteristik pribadi yang dilindungi oleh hukum, seperti ras, agama, atau gender, ada risiko bahwa hal ini bisa dianggap sebagai diskriminasi yang melanggar hukum.
Situasi semacam ini dapat menimbulkan konsekuensi tidak hanya bagi individu yang terlibat tetapi juga bagi institusi atau komunitas secara keseluruhan.
Untuk memastikan candaan tetap pada batas yang sehat, penting untuk selalu meninjau maksud dan dampaknya. Sebelum melontarkan candaan, pikirkan apakah lelucon tersebut berpotensi melukai perasaan orang lain.
Selain itu, penting untuk memahami tanda-tanda ketidaknyamanan yang ditunjukkan oleh orang lain. Jika seseorang tampak tidak nyaman atau keberatan, candaan tersebut harus dihentikan segera dan segeralah meminta maaf kepada si penerima guyonan.
Editor: Ranto Rajagukguk