Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) belakangan ini memiliki fluktuasi yang tinggi. Hal itu tidak terlepas dari kebijakan normalisasi yang dilakukan Pemerintah AS terhadap perekonomiannya. Di AS, sebenarnya kebijakan ini sudah dicanangkan sejak tahun 2015. Sejak masa itu hingga kini, Bank Sentral AS atau The Federal Reserved sudah menaikkan suku bunga sebanyak 150 bps.
“Dan, masih ada proyeksi bahwa suku bunga akan naik dua, tiga hingga empat kali. Dan, semua memiliki dampak masing-masing,” kata Adrian Panggabean, Chief Economist, Treasury and Capital Market Bank CIMB Niaga.
Ketika naik tiga kali, maka sedikit banyak obligasi pemerintah AS atau yield US Treasury akan naik. Dan, ketika itu terjadi, maka Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) diprediksi akan melemah 10%-12%. Sedangkan jika suku bunga naik AS naik hingga empat kali, maka bursa saham DJIA diprediksi akan turun hingga 15%.
Transaksi di pasar saham inilah tentunya akan berpengaruh terhadap transaksi saham dan obligasi, dan berujung pada pergerakan mata uang negara lain, termasuk rupiah.
Namun, Adrian melihat bahwa pelemahan mata uang ini merupakan fenomena global. Yang dimaksud di sini, rupiah bukan satu-satunya mata uang melemah. Menurut catatan Adrian, terhitung akhir tahun 2016 hingga 14 Mei 2018 ini, nilai tukar dollar AS terhadap dollar Australia telah melemah 3,56%. Sedangkan dollar Canada telah melemah 1,54%. “Sedangkan rupiah telah melemah 3,43%. Ini merupakan fenomena global. Yang tidak mengalami pelemahan antara lain Chinese Yuan,” katanya.
Keluarnya dana investor di pasar obligasi Indonesia pun menjadi salah satu faktor yang dianggap membuat rupiah melemah. Namun, menurut catatan Adrian, pasar obligasi di Indonesia masih mengalami inflow, meskipun pasar saham mengalami outflow. Dana yang sempat keluar di pasar obligasi pun berlaku pada SUN non benchmark.
“SUN benchmark adalah yang bertenor 5, 10, 15, dan 20 tahun. Yield obligasi itu masih oke. Kalo yang dijual benchmark series, artinya kepercayaan investor turun. Tapi jika investor menjual SUN non benchmark, namanya profit taking,” kata Adrian.
Adrian pun melihat bahwa fluktuasi terhadap nilai tukar dollar AS ini hanya bersifat sementara. Lantas apakah Bank Indonesia perlu menaikkan suku bunga acuan? “Saya cenderung jangan naik,” katanya.
Ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan agar BI tidak perlu menaikkan suku bunga. Pertama, inflasi Indonesia yang masih rendah. Selama ini, inflasi berkaitan dengan perekonomian sebuah negara. “Inflasi rendah ini menunjukkan bahwa permintaan yang lemah. Retail sales index masih turun. Ini menggambarkan inflasi rendah karena tidak ada permintaan,” kata Adrian.
Kedua, Indonesia masih berada dalam posisi awal dalam sebuah bisnis cycle. Hal ini tentunya berbeda dengan negara seperti AS atau Eropa, di mana mereka berada di tengah sebuah bisnis cycle. Sehingga, kenaikan suku bunga –meskipun sedikit- akan sangat berpengaruh pada laju perekonomian sebuah negara.
Ketiga, korelasi rupiah dengan dollar AS. Menurut catatan Adrian, dollar AS bukanlah mata uang utama dalam perdagangan Indonesia. Saat ini total perdagangan China dan Hong Kong mencapai 21%. Selanjutnya, diikuti Jepang dengan porsi 11%. “Sedangkan AS hanya 9% dan Euro hanya 5%-10%. Untuk apa kita khawatir berlebihan?” kata Adrian.
Memang, saat ini ada beberapa negara yang telah menaikan suku bunga, salah satunya Filipina. “Lainnya tidak. Ngapain kita menaikkan suku bunga? Karena kita bukan dollar zone. Nilai tukar rupiah terhadap major currency stabil. Ngapain naikin kalo cuma untuk dollar AS?” ucap Adrian.
Keempat, policy AS yang sebenarnya ingin membuat dollar AS melemah. Kelima, volatilitas yang sudah turun. “Jika BI menaikkan suku bunga, Indonesia sama dengan pasang pagar, tapi binatang liarnya sudah tidak ada,” katanya.
Selain itu, kenaikan suku bunga justru menghadirkan banyak mudarat ketimbang manfaat. Apalagi, ketika suku bunga naik, bukan berarti ada jaminan bahwa rupiah akan menguat. “Tidak ada jaminan. Yang ada justru pasar saham jatuh, harga obligasi turun, regulasi terkesan panik, dan membuat recovery perekonomian kita fragile,” katanya.
Pada kuartal kedua 2018, Adrian memprediksi pergerakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan berada di Rp 13.700 per dollar AS. Sedangkan pada kuartal ketiga, rupiah akan menguat menjadi Rp 13.500 per dollar AS.