Oleh Taufik, Deputy Chairman MCorp
Marketing is everything, kata Regis Mc Keena pada tahun 1991. Everyone is a Marketeer, kata Hermawan Kartajaya pada tahun 1995. Dua kalimat tersebut muncul kembali ketika membaca berita meninggalnya Suprajarto, Mantan Dirut PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun 2017–2019, dan sebelumnya menjadi Direktur Jaringan dan Layanan BRI 2007–2015.
Ketika melakukan wawancara terkait terpilihnya Suprajarto selaku Marketeer Of The Year, ada berbagai prestasi fenomenal yang diraihnya saat memimpin BRI selaku Dirut BRI. Dugaan awal, Suprajarto akan bicara panjang berbagai prestasi tersebut. Ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Sebagai orang yang berkarier panjang, dan bahkan meniti karier dari bawah dan luar Jakarta, membuatnya menjadi salah satu saksi rangkaian proses transformasi yang terjadi di BRI saat belum berada di “ring satu”.
BRI memang berhasil membangun business model yang unik, bukan hanya sebagai federasi unit bisnis mikro yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, tapi juga bagian dari perubahan sosial masyarakat desa. Mantri BRI Unit di berbagai desa diperlakukan sebagai rujukan bagi warga desa yang ingin merintis proses mobilitas vertikal.
Kemampuan membangun hubungan bank dan nasabah semacam itu membuat microbanking business model BRI yang impresif secara keuangan sulit ditiru siapapun. Ini ditunjukkan dari gagalnya upaya sejumlah bank yang mencoba masuk di bisnis microbanking Indonesia. Bahkan ketika terjadi perubahan generasi pekerja dan nasabah BRI Unit Desa dan semakin menipisnya perbedaan antara wilyah rural dan urban, sulit untuk mematahkan dominasi BRI.
Tidaklah mengherankan ketika menulis buku The Microfinance Revolution, Marguerite Robinson pada tahun 2001, BRI sudah disebut sebagai the largest and the most profitable microbanking in the world.
Kesimpulan ini muncul setelah membandingkan berbagai pelaku microbanking dari seluruh dunia, termasuk yang lebih popular di tingkat global seperti Grameen. Mestinya ini sesuatu yang membanggakan bagi mereka yang bekerja di BRI sejak BRI Unit diciptakan hingga munculnya buku tersebut.
Apa yang dilihat orang luar belum tentu sama dengan apa yang dilihat dari dalam. Betul bahwa business model-nya unik dan punya kinerja bagus. Tapi untuk menjadi sebuah bank modern yang bisa bersaing dengan bank-bank papan atas lain di Indonesia, banyak orang dalam pada tahun 2002 – 2003 yang ragu.
Itulah yang paling banyak muncul yang tertangkap pada saat melakukan berbagai wawancara internal dengan berbagai karyawan lintas divisi dan jabatan yang berbeda dalam penyusunan corporate plan BRI tahun 2003 – 2003.
Saat itu, posisi BRI adalah nomer empat terbesar di Indonesia, dengan jarak yang lumayan jauh ke pemain ketiga terbesar. Selain secara teknologi kalah dibandinkan bank-bank di atasnya, juga punya tantangan yang jauh lebih besar dalam integrasi jaringan pelayanan.
BACA JUGA: Obituari Suprajarto: Bankir Sejati
Untuk memberikan gambaran, seorang eksekutif BCA yang tahun 2002 pindah ke Mandiri, bank terbesar di Indonesia merasakan sulitnya integrasi layanan antarcabang di Jakarta. Yang bersangkutan, yang juga ikut bertanggungjawab dalam electronic banking merasakan susahnya proses integrasi layanan bank hasil merger empat bank pemerintah, terlepas lokasinya banyak di perkotaan.
Apalagi untuk BRI yang gerainya tersebar di berbagai wilayah, termasuk wilayah yang pada masa itu tergolong wilayah pelosok Indonesia. Investasi yang dilakukan pasti jauh lebih besar dan butuh waktu yang lebih panjang agar benar-benar bisa melakukan integrasi layanan.
Dalam situasi semacam itu, arahan dalam corporate plan yang disusun pada tahun 2002 – 2003 adalah menjadikan BRI sebagai bank nomor satu di Indonesia. Paling tidak dalam laba, yang secara hitungan matematis, bisa segera diwujudkan BRI dalam waktu segera.
Saat itu, di BRI ada yang menganggap bahwa itu merupakan dua hal yang sulit diwujudkan dan bukan melihat keunikan business model dengan kinerja impresif akan membuat BRI punya modal untuk pelan tapi pasti melakukan integrasi layanan.
Meski setuju bahwa BRI punya keunikan business model dan kinerja impresif, tapi mereka khawatir bahwa bank yang aset nya di atas BRI akan bisa investasi lebih agresif dan ada kemungkinan akan mencatatkan kinerja yang bagus. Jika hal tersebut yang terjadi, maka BRI akan sulit menjadi pemain nomer satu, sekalipun dalam perolehan laba.
Yang namanya skenario tentu bisa beragam. Realitas bisa selaras dengan salah satu skenario alias berbeda sama sekali dengan skenario lain. Itulah terjadi pada BRI, di mana kondisi ekonomi Indonesia paska penyusunan corporate plan favorable untuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah.
Mau tidak mau BRI pun menjadi salah satu bintang perbankan Indonesia. Rupanya, pemerintah baru 2004 – 2009 menginginkan BRI melaju lebih cepat untuk menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi, menyusun direksi baru dengan Sofyan Basir yang bukan berkarier di BRI sebagai CEO pada Mei 2005.
Meski ada bankir yang juga bukan berkarier di BRI yang ada di jajaran baru direksi, tapi sebagian besar adalah bankir yang berkarier di BRI, termasuk mereka yang terlibat sebagai tim inti penyusunan corporate plan BRI tahun 2002 – 2003.
Sofyan Basir, sebagaimana halnya dengan CEO BRI 2000 – 2005 Rudjito yang juga bukan bankir karier dari BRI, sudah lama melihat kelebihan BRI yang sulit ditandingi pemain lain.
Memiliki unit bisnis mikro yang kuat adalah modal yang bagus untuk melakukan pengembangan bisnis dan penguatan organisasi. Agar Sofyan Basir bisa memuwujudkan rencana pengembangan bisnis dan penguatan organisasi dia membutuhkan bankir karier BRI yang paham keunikan BRI tapi juga siap mewujudkan visi CEO baru.
BACA JUGA: Kaya Fitur, Jumlah Transaksi Digital Bank BRI lewat BRImo Naik 73%
Suprajarto yang sebelumnya di luar “ring satu”, punya pengalaman lapangan dengan unit bisnis mikro ditarik menjadi Kepala Sekretariat Perusahaan BRI pada tahun 2005. Jabatan yang memungkinnya untuk memahami visi CEO BRI hanya berlangsung satu tahun karena pada tahun 2006 berganti menjadi pimpinan BRI wilayah 1 Jakarta, yang di kalangan BRI dikenal sebagai jabatan persiapan menjadi direksi BRI berikutnya.
Jabatan tersebut hanya satu tahun karena pada tahun 2007 Suprajarto resmi menjadi direktur jaringan dan layanan yang dijabatnya hingga tahun 2015. Masa delapan tahun tersebut digunakannya bukan hanya untuk mewujudkan rencana lama BRI melakukan integrasi jaringan dan pelayanan, tapi bahkan menambah outlet.
Kalau melakukan integrasi layanan sudah susah, menambah outlet secara besar-besaran dan terintregasi dengan baik jelas tidak mudah. Hal itu dilakukan agar BRI bisa melakukan repositioning sebagai bank yang bisa melayani sebanyak mungkin nasabah di seluruh penjuru Indonesia.
Solidnya bisnis unit mikro, kecil dan menengah menjadi modal berharga dalam integrasi jaringan layanan. Apalagi didukung dengan berhasilnya upaya pengembangan bisnis yang dilakukan BRI, sehingga di tahun 2008, Sofyan Basir terpilih sebagai Marketeer Of The Year.
Solidnya bisnis mikro dan kenberhasilan pengembangan bisnis membuat BRI mulai dari tahun 2005 terus menjadi bank dengan laba terbesar di Indonesia dan bertahan hingga tahun 2019.
Laba yang besar membuat BRI lebih fleksibel memilih teknologi untuk integrasi layanan. Kebetulan pemerintah RI menginginkan agar slot untuk satelit yang tersedia tahun 2014 bisa dimanfaatkan oleh perusahaan Indonesia. Karena labanya besar, BRI diminta pemerintah membeli satelit.
Kondisi tersebut menjadikan BRI sebagai bank pertama di dunia yang memiliki satelit pada saat Suprajarto masih menjabat direktur jaringan dan layanan.
Saat itu ada yang menanyakan urgensinya. Sebagaimana disampaikan pada saat wawancara di kantor pusat BRI 19 November 2018, Suprajarto melihat bahwa pembelian satelit bukan hanya karena penugasan tapi memang untuk kebutuhan operasional BRI yang bahkan membuat BRI membeli satelit yang kedua pada tahun 2019.
Investasi besar-besaran di bidang teknologi untuk integrase jaringan layanan mendukung perbaikan image BRI. Nasabah BRI di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di lautan bisa melakukan transaksi.
Ini bahkan bukan hanya dilakukan oleh unit kerja internal BRI tapi juga layanan laku pandai atau warung-warung yang ada di berbagai pelosok Indonesia yang menjadi mitra BRI untuk membantu nasabah melakukan transaksi perbankan dalam jaringan BRI.
Citra lama sebagai “bank ndeso” lengkap dengan atribut teknologi ketinggalan hilang sudah. Sehingga ketika kembali ke BRI dan menjadi CEO, Suprajarto seperti tinggal memetik buah dari keterlibatan yang panjang dalam integrasi jaringan dan layanan, dari 2007 – 2015.
Transaksi electronic banking BRI pun melonjak pesat dan bahkan menjadi terbesar pada saat Suprajarto menjadi CEO BRI, sebagai bukti hilangnya citra lama.
Inilah sebuah legacy yang ditinggalkan oleh seorang marketer. Meski tidak langsung berhadapan dengan nasabah, tapi direksi yang bertanggung jawab dalam integrasi jaringan dan layanan bisa menjadi seorang marketer yang mendukung repositioning baru BRI sebagai bank dengan jariangan pelayanan paling luas dan paling banyak digunakan di Indoensia.
Kesedian BRI untuk melakukan investasi besar-besaran untuk mewujudkan repositioning BRI sebagai bank yang mampu memberikan layanan terintegrasi di seluruh pelosok Indonesia agar bisa melayani nasabah sebanyak mungkin adalah penjabaran marketing is everything di tengah ketatnya pesaingan perbank di Indonesia!
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz