Edelman, perusahaan komunikasi global melaporkan hasil penelitian terbaru bertajuk 2024 Edelman Trust Barometer Special Report: Brands and Politics Edisi Indonesia. Dalam laporan tersebut, sebanyak 81% konsumen Indonesia menyatakan khawatir terhadap hasil pemilihan umum (pemilu) akan memengaruhi sikap yang diambil brand.
Temuan ini didasarkan pada survei terhadap 1.000 responden di 34 provinsi di Indonesia, sebagai bagian dari studi yang lebih besar yang melibatkan lebih dari 15.000 responden di 15 negara. Survei ini menyoroti tren perilaku konsumen untuk mendukung, membeli, atau bahkan menghindari suatu merek berdasarkan pandangan politik dan nilai sosial tertentu yang dianut oleh merek serta sikap merek terhadap isu sosial.
BACA JUGA: Belajar Personal Branding dari Komeng si Pemecah Rekor Legislatif
Nia Pratiwi, Managing Director Edelman di Indonesia menturkan kekhawatiran ini juga tercermin dalam cara mereka memandang merek sehari-hari. Merek yang dianggap memiliki pandangan politik atau yang tidak mengambil sikap jelas berisiko dihindari atau diboikot.
“Pada tahun 2024, kita dihadapkan pada dinamika politik seperti pemilu dan konflik geopolitik global yang mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap brand. Temuan kami menunjukkan bahwa mayoritas konsumen di Indonesia mengekspresikan pandangan politik mereka melalui pilihan brand atau produk, menunjukkan adanya polarisasi dalam perilaku konsumen yang perlu diperhatikan oleh setiap brand,” kata Nia melalui keterangan resmi, Senin (21/10/2024).
BACA JUGA: Strategi Push and Pull Marketing Terstruktur, Sistematis dan Masif ala BCA
Perubahan ini pun mengakibatkan adanya peningkatan pada nasionalisme merek (brand nationalism), sebuah kondisi saat konsumen lebih memilih merek dan produk berdasarkan negara asal dari brand tersebut. Laporan yang sama menunjukkan 73% responden Indonesia kini lebih sering membeli merek lokal dibandingkan setahun yang lalu, dan 58% memboikot merek yang mendukung salah satu pihak dalam konflik Israel-Hamas.
Mengingat pilihan merek turut mendefinisikan identitas sosial seseorang, laporan tersebut juga mencatat bahwa generasi muda yang berusia 18 hingga 34 merasa terhubung dengan orang lain yang menggunakan merek yang sama dengan persentase 69% dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih senior berusia 35 hingga 54 sebesar 58%. Selain itu, hampir setengah atau 49% dari responden muda ini mengaku bahwa mereka menilai orang lain berdasarkan pilihan mereknya.
Dengan dinamika perilaku konsumen ini, jelas bahwa publik di Indonesia menuntut brand untuk mengambil sikap pada isu kontroversial atau politis saat berada di bawah tekanan sebesar 64%. Kemudian, karena orang percaya pada kekuatan brand untuk berkontribusi lebih banyak bagi agenda publik, bukan lebih sedikit, responden mengharapkan brand untuk melakukan lebih banyak dalam isu seperti perubahan iklim 33%, upah yang adil 28%, dan pelatihan ulang (retraining) tenaga kerja 26%.
Sementara itu, ketika sebuah brand tidak mengomunikasikan tindakannya dalam menangani isu-isu sosial, 55% responden Indonesia menganggap merek tersebut tidak melakukan apa-apa atau menyembunyikan sesuatu. Secara umum, konsumen kini secara dekat memperhatikan setiap keputusan yang dibuat oleh brand, yang memberikan implikasi politik yang lebih besar daripada sebelumnya.
“Temuan kami mengungkapkan bahwa tindakan paling sederhana oleh sebuah merek sekalipun, seperti pemilihan influencer dan perekrutan karyawan yang beragam, juga dapat dianggap sebagai pernyataan politik. Brand yang memilih untuk tetap diam pada isu sosial dan politik yang mendesak, atau yang gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen yang menuntut transparansi dan advokasi oleh brand, dianggap sebagai bagian dari masalah dan berisiko kehilangan kepercayaan konsumen,” kata Nia.
Editor: Ranto Rajagukguk