Survei: Pemikiran Perempuan Sebelum Belanja Lebih Kompleks Ketimbang Pria
Beberapa tahun lalu, televisi menjadi primadona bagi siapa pun, baik pencari hiburan maupun informasi termasuk perempuan. Saat era digital kian masif, fungsi itu kini berubah, termasuk dorongan pengguna smartphone.
“Sekarang, media televisi hanya untuk kebutuhan hiburan semata. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan akan informasi mereka yang besar perempuan akan mencarinya via internet, terutama soal produk yang akan mereka beli mulai dari fesyen sampai kosmetik,” ujar Director of Strategic Planning Kapanlagi Network Rubin Suardi di gelaran Ideafest 2016 minggu lalu di Jakarta.
Pernyataan Rubin dibuktikan dengan fakta riset yang dilakukan oleh Kapanlagi network sebagai media penerbit. Perempuan dari karakternya sebagai pencari informasi memiliki pemikiran lebih kompleks ketimbang pria. Itu terlihat dari jumlah pencarian dilakukan oleh konsumen perempuan di kanal online Kapanlagi Network yang mencapai angka 111 juta. Itu dilakukan mereka ketika akan membeli sesuatu.
Artinya sebelum membawa pulang sebuah produk ke rumah, ada banyak referensi dibuka secara online. Dibanding angka pencarian dengan laki-laki jumlah itu besar mengingat kamu adam melakukanpencarian sebelum membeli sebayak 75 juta referensi. Padahal pengguna Kapanlagi Network secara gender cukup seimbang 50:50.
Data dari Rubin yang lain juga menarik untuk disimak. “Perempuan tiap log in setiap lima menit sekali mereka mencari sebanyak 10 artikel yang sangat spesifik. Di kanal kami, walau ada kanal berita dan headline dari sektor politik dan ekonomi, kanal yang berhubungan dengan perempuan terbilang cukup tinggi dan selalu menjadi kata kunci paling dicari seperti fesyen dan kecantikan,” sambungnya.
Artinya, konten mengenai perempuan sangat potensial untuk digarap. Kapanlagi Network juga akhirnya membuat banyak kanal khusus perempuan untuk memenuhi kebutuhan segmen yang cukup impulsif itu. Tapi, media ternyata hanya sebatas itu saja, untuk mencari informasi. Sementara, untuk kanal berbagi, perempuan lebih suka menggunakan media sosial seperti platform messaging semisal WhatsApp.
Masalahnya ketika sebuah artikel atau referensi itu sudah ada di kanal-kanal media, rasa asli atau orisinalitasnya hilang. Ketika sudah dibagi kepada khalayak banyak atau publik, konten itu sudah tidak eksklusif lagi. Nilai advokasinya rendah. Sementara, konten yang hanya lalu lalang di lintas pertemanan mereka saja seperti halnya grup WhatsApp ibu-ibu arisan, tingkat advokasinya akan lebih tinggi. Tingkat eksklusivitas kontennya tinggi sehingga lebih bisa dipercaya dibanding sudah masuk media besar.
“Orang berbagi konten itu untuk validasi. Kalau sudah ada di media besar dianggap tidak besar lagi tingkat validitasnya. Konten eksklusif punya nilai lebih tinggi terutama bagi kaum perempuan,” ujar Director of Operations Mirum Agency Ellyse Sinsilia.
Editor: Sigit Kurniawan