Salah satu tugas government relations adalah senantiasa melakukan review setiap peraturan dan hukum yang disahkan. Government relations harus memahami inti pesan perusahaan. Kemudian dikaitkan dengan isu yang sedang berkembang yang mengacu regulasi yang berlaku. Tidak ketinggalan, pesan tersebut harus dikemas dengan baik agar sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat.
Sekilas, adanya government relations terkesan dengan adanya praktik lobbying. Prita Kemal Gani, Founder & Director London School of Public Relations menilai bahwa dalam hubungan antara public relations dan pemerintah terkadang memang ada praktik lobbying. Meskipun ia mengakui bahwa konotasi dalam kata lobbying bermakna negatif.
Ia memaparkan ada tiga tahapan, yakni lobbying, mediasi, dan negosiasi. Tahapan lobbying berada pada peringkat paling bawah dari kedua tahapan lainnya. “Lobbying itu dilakukan untuk prevensi sehingga muncul sebuah bentuk ketertarikan.”
Ketika lobbying dilakukan, khususnya ketika terjadi sengketa atau masalah lainnya, maka tahapan selanjutnya adalah mediasi. Dalam tahapan mediasi, sebuah perusahaan bisa melakukan klarifikasi atau mengakui kesalahan yang telah terjadi. Saat proses mediasi ini perusahaan melalui PR harus bisa menyampaikan informasi terkait sikap perusahaan ke depannya. Setelah sudah terjadi putusan maka akan memasuki tahapan negoisasi.
“Tugas kita sebagai PR tidak sama dengan tugas seorang pengacara,” tegas Prita.
Ia mengingatkan seorang PR dilatih untuk melihat seburuk-buruknya situasi dan melihat satu sisi baik. PR dilatih untuk bisa mengembangkan sisi baik tersebut sehingga menjadi seimbang. Baginya, ketika terjadi suatu kasus hukum, PR tidak bisa untuk mengurangi hukuman. Hanya saja PR harus bisa merubah satu sudut pandang.
Misalnya, pemimpi perusahaan Anda ditangkap dengan tuduhan korupsi. Padahal perusahaan amat bergantung pada sosok pemimpin ini. Katakanlah ternyata pemimpin ini memang terbukti bersalah dan harus dipidana.
“PR bisa memberikan sudut pandang baru dengan menginformasikan bahwa meskipun bersalah, pemimpin perusahaan ini merupakan sosok pemimpin yang baik yang bisa menyejahterakan pegawainya. Selain itu, di dalam rumah ia juga seorang kepala keluaga yang bertanggung jawab,” jelas Prita.
Ketika berhasil mengubah sudut pandang tersebut, bukan tidak mungkin bahwa perusahaan yang ditinggalkan bisa tetap berjalan seperti biasa, serta nama baik pemimpin tersebut tidak sejelek atas tindakan yang sudah diakuinya. Dalam perspektifnya, seorang PR perusahaan juga harus bisa mem-pr-kan atasan mereka.
“Terkadang hal ini bisa mengubah sudut pandang hakim dan bisa mengurangi jumlah hukuman. Tapi untuk mengubah itu pidana atau bukan, PR tidak bisa melakukan itu. Bisanya mengubah sudut pandang,” pungkas Prita.
Editor: Sigit Kurniawan