Apakah 2018 Menjadi Titik Balik Go-Pay?

marketeers article

Tahun 2018 menjadi waktu penentuan bagi para pemain e-wallet atau dompet elektronik dalam memantapkan lini bisnisnya. Selain akuisisi pelanggan baru, pemain e-wallet mesti merogok keuntungan tahun ini.

Salah satu pihak yang paling semangat adalah Go-Jek lewat dompet elektroniknya yang bernama Go-Pay. Selama ini, Go-Pay hanya dibuat sebagai alat pembayaran pemesanan ojek daring milik Go-Jek. Namun, sang CEO Nadiem Makarim mengatakan tahun ini Go-Pay bakal keluar dari ekosistem Go-Jek.

Apa artinya? Go-Pay bakal beroperasi layaknya e-wallet pada umumnya, seperti Sakuku atau Doku. Uji coba layanan ini sedang dilakukan Go-Jek saat menghelat event Go-Food Festival di Pasaraya Grande Jakarta hingga 19 Januari mendatang.

Go-Pay menjadi sarana pembayaran merchantmerchant yang bergabung di acara tersebut. Saat barcode dipindai, saldo yang terdapat di dalam Go-Pay langsung berkurang.

Setelah sukses memonetisasi Go-Jek dan Go-Food, nampaknya Go-Pay menjadi senjata ketiga yang bisa memberikan pundi-pundi rupiah bagi perusahaan yang dirintis Nadiem sejak 2010 silam itu. Ini membuktikan bahwa arah bisnis Go-Jek bertransformasi dari on-demand services menjadi fintech.

Keseriusan itu dibuktikan Go-Jek dengan mengakuisisi tiga perusahaan fintech sekaligus pada Desember tahun lalu, yakni MidTrans, Kartuku, dan Mantap. Modalnya berasal dari aliran dana raksasa teknologi China Tencent Group yang menginjeksi Go-Jek sekitar Rp 16 triliun pada tahun lalu.

“Kami tidak boleh puas begitu saja sebelum mentransformasikan Indonesia menjadi digital super power di dunia,” kata Nadiem seperti dikutip dari Marketeers edisi double issue Desember-Januari 2018.

Nadiem mengatakan, perusahaannya akan ekspansi di tiga negara Asia Tenggara mulai tahun ini dengan memboyong layanan Go-Pay. Di ranah nasional, Go-Pay juga telah menarik atensi pelaku perbankan konvensional. Salah satunya, Bank DKI yang mengintegrasikan mobile banking-nya dengan Go-Pay.

Dengan keluar dari ekosistem Go-Jek, peluang Nadiem untuk meningkatkan transaksi Go-Pay pun semakin besar. Go-Pay akan menjadi layanan pembayaran transaksi online di sejumlah e-commerce maupun offline di berbagai restoran dan minimarket.

Berkat dukungan 900.000 pengemudi Go-Jek, 150.000 merchant, serta 15 juta pengguna mingguan, Go-Pay bisa saja menargetkan diri sebagai e-wallet nomor satu dari sisi jumlah pengguna dan nilai transaksi di Indonesia. Mengingat per Oktober 2017, transaksi Go-Pay mencapai 30% dari transaksi uang elektronik nasional. Dengan ini, kasusnya bakal mirip seperti AliPay di Tiongkok dan Swish di Swedia yang konon 40% populasinya menggunakan platform tersebut.

Akan tetapi, yang perlu juga dipikirkan pemain e-wallet seperti Go-Pay adalah bagaimana uang yang dibenamkan konsumen di dompet elektronik itu benar-benar memberikan value tambahan.

Sebab, selama ini e-wallet tidak menawarkan bunga atau imbal hasil untuk saldo yang tersisa. Sehingga, konsumen selalu berpikir apabila e-wallet mereka tidak digunakan, nilainya akan terus merosot tergerus inflasi.

Hal lainya adalah soal transfer e-wallet. Sejauh ini, transfer dana hanya bisa dilakukan konsumen ke sesama pengguna e-wallet yang sama. Sehingga tidak memberikan keleluasan bagi konsumen saling transfer ke e-wallet yang berbeda. Begitu pun dengan saldo e-wallet yang terbatas, yaitu maksimal Rp 10 juta.

Jika Go-Pay ingin bertarung di pasar e-wallet, berbagai pertimbangan di atas apabila dieksekusi dengan benar dapat memberikan diferensiasi bagi Go-Pay di bisnis digital. Kita lihat saja kiprah Go-Pay di dunia dompet elektronik. Apakah benar tahun ini menjadi turning point Go-Pay?

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related